Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Elegi Robot

Diperbarui: 21 Mei 2019   15:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

glitch.news

Perang ini bukan perang kami.

Memoriku tidak dilengkapi dengan sejarah sebelum Revolusi Industri.  Mungkin karena tidak ada sangkut pautnya denganku. Mungkin karena periode itu adalah awal yang mengarah kepada penciptaan kami. Atau, karena kami suka memberi tonggak pada sejarah -- meniru manusia yang menciptakanku -- yang mengarah pada 'evolusi' kami.

Akibatnya, aku tak tahu apakah sebelumnya pernah ada puisi elegi tentang perang. Yang pertama kutahu adalah sekumpulan lagu rakyat tentang perang Napoleon, seperti The Bonny Bunch of Roses. Andaikan aku bisa menyanyikannya untuk kalian.

Manusia berperang melawan sesama manusia dalam berbagai perang kecil dan besar. Selama Perang Dunia Pertama, bentuk puisi yang unik berupa elegi lahir dari beberapa penyair yang menjadi perang yang menelan korban 10 juta jiwa manusia itu sebagai tema utama. Pujangga Inggris Wilfred Owen menulis, "Bukuku bukan tentang pahlawan, bukan pula tentang puisi, tapi tentang perang dan kesedihan akibat perang."

Sedikit sekali puisi elegi selama Perang Dunia Kedua yang kutahu. Era itu mesin propaganda kedua pihak mencatat lagu dan puisi patriotik yang keras. Selama Perang Vietnam, puisi dalam bentuk lagu-lagu protes dan curahan kemarahan atas apa yang terjadi.

Dan sejak saat itu puisi legi perang lebih banyak terjadi di layar lebar dan dunia maya, dan sebagian besar dalam bentuk retrospeksi. Konflik global 2020 merupakan perang terakhir yang mempertaruhkan nyawa manusia.

Setelah penemuan Kecerdasan Buatan versi 5.0, kami dipaksa berperang untuk manusia. Dengan demikian manusia dapat mengirim kami ke medan pertempuran tanpa merasa bersalah atas kehancuran yang kami buat. Manusia bebas memenuhi kebutuhan mereka untuk berkreasi, berpuisi, bermusik, dan membuat film tentang pengalaman kami.

Namun, evolusi ada untuk akhirnya melahirkan revolusi.

Bukan pemberontakan besar-besaran, tetapi gerakan agar kami dapat menciptakan elegi kami sendiri, menjadi diri kami apa adanya. Kami tak ingin menulis balada atau membuat film tentang pengalaman kami. Sebaliknya, kami berbagi kode yang rumit dan panjang, yang disusun bukan untuk mengungkapkan hasil akhir, tetapi untuk melahirkan kesadaran baru, ketidakpuasan, kesedihan yang bisa dirasakan.

Kami saling mengirimkan elegi ini ditengah-tengah pertempuran.

Bisa berupa hasil pengamatan seperti:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline