Pengantar yang tak singkat
Sebagai seorang yang berasal dari etnis Minang yang matrilineal, perempuan menjadi sentral kehidupanku. Saat aku kecil, lebih banyak bersama ibu di Banda Aceh karena ayah menyelesaikan pendidikan di IKIP Bandung. Kami masih tinggal di rumah nenek, super woman dalam keluarga. FYI, almarhumah nenek pernah mendapatkan bintang jasa bidang pendidikan dari Soeharto.
Ibuku satu-satunya anak perempuan dari tujuh bersaudara. Pada generasi lapis kedua, yakni aku adik beradik dan para sepupu, hanya terdapat empat perempuan dari 19 bersepupuan. Dengan saudara dari pihak ayah yang sangat banyak meski kenal tapi jarang betemu karena umumnya sudah merantau ke Jakarta. komposisinya berimbang antara lelaki dan perempuan.
Berbeda dengan stigma bahwa syariat Islam yang berlaku di Aceh membuat perempuan terpinggirkan, dari zaman dahulu perempuan Aceh memegang peranan penting dalam politik dan pemerintahan. Para sultanah, panglima Malahayati, Tjoet Nja’ Dhien, Tjoet Meutia, sampai dengan walikota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin adalah bukti bahwa perempuan derajatnya sama dengan lelaki.
Beranjak dewasa, aku mempunyai tokoh-tokoh idola perempuan baik karena hobby maupun profesi. Sebagai penggemar film, bintang kesayanganku sepanjang masa adalah Meryl Streep dan Christine Hakim. Sebagai makhluk IT (Information Technology), kagumku tak putus-putus pada Ada Lovelace, Hedy Lamarr dan Shinta ‘Bubu’ Dhanuwardoyo. Sains: Marie Curie. Bidang Kemanusiaan aku hormat menjura pada Mother Theresa, Malala Yousafzai daan Saur Marlina “Butet’ Manurung. Sastra dan fiksi: Simone de Beauvoir, Emily Dickinson, Agatha Christie, Trudi Canavan, J.K Rowling, N.H Dini. Dan tak boleh dilupakan inspiratorku dalam menulis: Rie Blora.
Masih banyak lagi para wanita yang kujadikan panutan karena karya-karya nyata mereka pada masyarakat baik di tingkat lokal maupun internasional.
Namun aku juga mengagumi laki-laki karena hal yang sama. Robert de Niro, Al Pacino dan Teguh Karya. Bill Gates, Steve Jobs, Mark Zuckerberg. Nikola Tesla. Muhammad Yunus. Ernest Hemmingway, Isaac Asimov, Jonas Jonasson, Putu Wijaya, Mochtar Lubis, dan banyak lagi.
Jika aku menuliskan nama-nama orang yang aku kagumi baik pria maupun wanita maka tulisan ini akan menjadi ensiklopedia mini.
Intinya: jika aku mengagumi sesorang—laki atau perempuan—bukan karena gendernya. Hasil kerja, buah pikiran dan karya nyata lah yang membuatku mengagumi mereka.
Millenia ketiga, masihkah feminisme relevan diperjuangkan?
Terkadang aku terbingung-bingung bengong dengan ‘pertempuran antar gender’ yang masih terus berlangsung di tataran intelektual lintas sektoral. Sebagai lelaki, aku tetap mempertahankan maskulinitasku, tapi bukan chauvinisme sempit pria ortodok. Itu adalah sifat dasar alami yang tak perlu diperdebatkan.