Aku menemukan kecintaanku pada menulis saat usiaku setengah abad, kurang dari dua tahun lalu. Meski sebelumnya hasratku berlimpah di masa remaja untuk menuangkan pikiran dalam tulisan, curahan perasaan dalam bentuk cerpen yang tersimpan dalam disket dan harddisk 20 Mb PC rakitan berprosesor 386 yang kini berada di ranah entah, atau catatan sekilas peristiwa lucu tentang anakku, coretan puisi dan opini pada blog yang hanya sesekali kulongok.
Bahkan, saat aku masih menjadi konsultan teknologi yang rasional penuh logika, ada jeda-jeda yang kumanfaatkan untuk menjelajahi dunia fantasi, yang sering membantuku menyelesaikan problematika kerja yang sulit.
Hal ini membuktikan kekuatan bercerita dan imajinasi. Aku menulis untuk mengabadikan kenangan, menguraikan persoalan dalam nuansa ringan namun membutuhkan pikiran terbuka untuk dapat memahaminya. Aku belajar dan mengajar tanpa harus menggurui atau mengerjakan soal ujian. Aku bisa meluapkan emosi tanpa harus mengernyitkan dahi atau vulgar memaki. Aku menertawakan kebodohanku sendiri tanpa harus kelihatan bodoh.
Aku tak tahu persis bagaimana pembaca bereaksi terhadap tulisan-tulisanku. Namun ada pembaca yang merasakan bahwa aku menuliskan pengalaman mereka, menyentuh sisi diri mereka yang nyaris terlupa. Dan ucapan terima kasih mereka sungguh sesuatu bagiku.
Setelah memutuskan untuk menjadi penulis sepenuhnya, aku mendokumentasikan catatan-catatan kecil tentang tulis menulis, hal-hal yang baru kupelajari tersebab basis pendidikanku bukanlah dunia sastra. Internet sangat membantu, dan meski klise, memang kenyataannya adalah semakin banyak kita belajar, semakin sedikit yang kita ketahui. Catatan kecilku saat kubagikan ternyata mendapat respon positif, dan beberapa orang mengharapkan agar kubukukan.
Membukukan karya fiksi dan nonfiksi adalah dua hal yang berbeda.
Aku menulis pengalaman dan pengamatanku dalam bentuk sketsa, fiksi atau puisi. Saat menuliskannya sepenuhnya milikku. Setelah kupublikasikan, mereka menjadi pengalaman pembacanya masing-masing. Aku menyadari bahwa tidak semua pembaca paham tentang fiksiku, terutama flash fiction. Sebuah flash fiction 200 kata hanya membutuhkan waktu 1 menit untuk membacanya, namun jika Anda membacanya terburu-buru, seringkali Anda terluput kata kuncinya. Anda bisa membaca novel dengan kecepatan tinggi, melewatkan 1 - 2 narasi yang menurut Anda bertele-tele, namun tidak untuk flash fiction. Bahkan, acapkali Anda harus membacanya 2 – 3 kali sebelum menyadari sepatah kata yang mengarahkan pada twist di akhir cerita.
Pembaca flash fiction-ku yang bertanya ‘mengapa’ tentang plot suatu cerita, biasanya adalah pembaca yang tergesa-gesa.
Esaiku tentang puisi atau fiksi adalah sebaliknya. Umumnya pembaca langsung memahaminya. Padahal, aku menuliskannya sebagai seseorang yang baru belajar, bukan sebagai pakar. Aku justru jadi khawatir, jika kelak diterbitkan menjadi buku, para pakar sebenarnya akan meminta pertanggungjawaban ilmiah dari bukuku!
Jangan salah. Aku bisa saja mempunyai karir lain selain penulis. Memutuskan pensiun dari dunia ‘kerja’ saat berumur lima puluh tahun adalah hal bodoh menurut banyak orang, termasuk keluargaku. Tapi menulis yang membuatku tetap hidup setelah berpuluh tahun hidup menjalani kehidupan sebagai ‘orang lain’. Aku sudah letih berkompromi, bernegosiasi dengan manusia-manusia yang berlagak suci, bersumpah dengan nama Tuhan sambil menanyakan berapa aku berani menuliskan persen komisi.
Aku bosan dengan manusia hipokrit yang mengaku diri sendiri selalu benar sementara orang lain selalu salah.