Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Perlukah Coding Masuk Kurikulum?

Diperbarui: 28 November 2015   07:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa tahun silam, saat penulis sebagai pakar penanggungjawab basisdata sebuah proyek pendataan yang penting, pernah memecat seorang programmer. Kesalahannya adalah, alih-alih menempatkan OR pada baris kueri, ia memberikan perintah AND. Gara-gara kesalahan yang kelihatannya sepele tersebut, hasil kerja 30 orang pengentri-data selama tiga hari menjadi sia-sia. Dokumen-dokumen hardcopy yang tadinya telah masuk ke bagian arsip karena telah selesai diinput, harus dikeluarkan lagi.  Tapi yang membuat penulis memberhentikannya adalah kalimatnya saat penulis sebagai atasan memberikan teguran: “Oh…., cuma itu, toh?”

Kalimat yang menunjukkan kecongkakan dan kebodohan itu membuat penulis tidak bisa lagi mempercayainya untuk memasukkan walau satu karakter ke dalam kode-kode pengolah data. Penulisan kode program haruslah bebas kesalahan, karena mesin tidak berpikir seperti layaknya manusia.  Mesin bekerja sesuai perintah tanpa membedakan salah atau benar.

Dari jawaban programmer tersebut, penulis mencoba melihat berbagai kurikulum pendidikan di Indonesia, mulai dari pendidikan dasar sampai dengan menengah atas. Untuk pendidikan tinggi penulis lewatkan karena terlalu banyak jenis program pendidikan yang tersedia. Tetapi dengan melihat banyaknya pengangguran intelektual maupun sarjana yang bekerja tidak sesuai bidang ilmu yang dikuasainya, penulis menyimpulkan masih ada yang harus diperbaiki pada jenjang pendidikan tinggi di Indonesia.

Sebelum membahas tentang perlunya pelajaran coding dimasukkan dalam kurikulum, penulis mencoba membahas tentang kurikulum secara umum terlebih dahulu.

Kurikulum pendidikan dasar yang bukan dasar.

Pendidikan dasar seharusnya memberikan pondasi yang kuat sebagai jenjang pertama siswa untuk melanjutkan ke sekolah menengah pertama. Tetapi kenyataannya anak sudah dijejali teori yang harus dihapalkan dalam setiap pelajaran. Sebagai contoh, kompetensi berbahasa Indonesia diartikan siswa harus tahu bagaimana membuat curriculum vitae, menyusun naskah pidato, menulis wesel pos (!), membuat rangkuman, mengubah puisi menjadi prosa (!), dan seabreg istilah linguistik yang bahkan penulis sendiri tak yakin para guru, terutama guru mata pelajaran lain, mengerti dan/atau mampu untuk itu! Sekarang saja masih banyak siswa, mahasiswa dan juga sarjana yang tidak membedakan ke dan di sebagai preposisi atau imbuhan.

Hal yang sama juga terjadi mata pelajaran lainnya, misalnya matematika. Seharusnya tamatan sekolah dasar sudah paham dasar-dasar aritmetika. Tetapi banyak siswa SMA, bahkan sarjana, yang tidak tahu orde operasi aritmetika. Hal yang bisa kita temukan pada banyak jawaban komentar di kuis-kuis matematika sederhana di media sosial.

Belum lagi pelajaran ketrampilan yang tak mau kalah berlomba-lomba menjejalkan otak murid dengan sederet istilah ilmiah, sehingga bukan ketrampilan yang diperoleh, tapi sesuatu yang akan segera dilupakan jika sang murid memang tidak memiliki minat dan bakat di bidang tersebut. Berapa banyak lulusan SD yang bisa menyanyikan lagu berdasarkan not angka (tidak usah membawa-bawa not balok)? Penulis pernah melatih koor guru-guru pendidikan usia dini lulusan D-3 dan S-1 yang buta notasi musik sama sekali.

Kurikulum pendidikan menengah yang berorientasi nilai.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa keberhasilan sekolah dan daerah dalam bidang pendidikan dilihat dari persentase jumlah kelulusan siswa. Akibatnya murid ditekankan untuk mampu menemukan jawaban yang benar dari sejumlah soal dengan cara apapun. Murid terbiasa menghafal kunci jawaban, bukan mengerjakan langkah-langkah untuk mendapatkan solusi soal yang diberikan. Pada saat problem yang sama ditemukan dalam dunia nyata, si anak tak mampu memecahkannya karena tak tahu merumuskan persoalan tersebut. Saran penulis, sebaiknya murid dilatih untuk membuat soal dari jawaban, seperti sebuah kuis yang populer di Amerika sana. Hal yang sama juga dapat diterapkan dalam pendidikan sekolah menengah kejuruan.

Menurut hemat penulis, silabus juga perlu diperbaiki. Apa perlunya memasukkan fisika atom dan fisika inti dalam mata pelajaran Fisika SMA? Berapa banyak prodi di universitas-universitas yang ada mata kuliah terkait bidang tersebut selain MIPA Fisika dan Fisika Teknik?

Begitu juga dengan Matematika Kalkulus. Rasanya penulis belum pernah berjumpa dokter atau arsitek atau bahkan insinyur yang menerapkannya dalam bidang pekerjaannya secara langsung, selain para peneliti. 

Terlebih lagi untuk pendidikan sekolah menengah kejuruan yang diharapkan lulusannya siap pakai. Hendaknya ilmu dan praktik yang didapat betul-betul bermanfaat bagi siswa, bukan hanya menjadi beban semata. 

Perlukah Coding Masuk Kurikulum?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline