Lihat ke Halaman Asli

Yayan Sopian

Guru yang belum bisa digugu dan ditiru

Noken, Selain Belajar Budayanya, Ada Muatan Sains Lho, di Dalamnya!

Diperbarui: 8 Desember 2021   09:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Titus Pekei (kiri) penggagas noken sebagai Warisan Budaya tak Benda untuk UNESCO, bersama siswi SMA PGRI Jayapura (Sumber : Yayan Sopian)

Sebuah gagasan bagi Millennial Papua, dalam rangka memperingati Hari Noken Sedunia ke -9 

Tiga hari lalu di Papua, 4 Desember, setiap orang  di Papua merayakan sebuah hari istimewa, bahkan tanggalnya tidak hanya menjadi tanggal istimewa di Papua, tetapi juga di seluruh dunia. Sebuah momentum yang menjadi kebanggaan jadi diri orang Papua di dunia, yakni Hari Noken Sedunia. Tahun lalu, 4 Desember, Google bahkan membuat doodle tematik untuk memperingati Hari Noken Sedunia

Penetapan hari tersebut tidak terlepas dari perjuangan diplomasi baik komunal maupun personal, oleh banyak pihak yang selama ini berkecimpung dalam upaya mengajukan noken sebagai salah satu warisan budaya dunia kategori tak benda atau "World Heritage Culture Intangible Category" ke UNESCO pada tahun 2012. Sebuah ketukan palu (yang diketuk oleh pimpinan sidang, Arley Grill) dengan kekuatan sekian Newton (kg.m/s2) menghasilkan sebuah momentum yang memicu gelombang bunyi dengan kecepatan sekian m/s2 dengan frekuensi sekian hertz (hz) di ruang sidang, sehingga menjadi ketetapan yang sahih saat itu.

Bisakah belajar sains dari noken?

Pengusulan Noken ke UNESCO, memang menempuh jalan yang berliku. Multi track diplomacy merupakan sebuah ungkapan yang dapat menggambarkan bagaimana semua pihak dan komponen bahu membahu demi menggolkan noken sebagai warisan budaya dunia tak benda. Penetapan noken sebagai warisan budaya dunia tak benda memang lebih dititik beratkan kepada perlindungan mendesak, sebagaimana amanat konvensi UNESCO Tahun 2003, tentang Warisan Budaya Dunia Tak Benda.

Bukan hanya mempelajari dari sisi mata budaya dan filosofinya semata, mempelajari noken  sebenarnya juga membedah nilai-nilai dan kandungan sains, di dalamnya. 

Biologi

"Bahan alam" pembuatan noken tidak terlepas dari kearifan lokal dari 250 an lebih suku - merujuk pada keragaman bahasanya - di Papua. Flora dan fauna yang dimanfaatkan bukan hanya sebagai simbolisasi dari setiap unsur bahan bakunya. Ilmu hayati bisa menggambarkan bagaimana keragaman hayati yang selalu dibawa dan dikenalkan kemanapun penyandang noken itu bepergian. Baik berupa bahan baku serat, pewarna alami, dan aksesoris yang ditambatkan. Adalah etnobiologi, cabang ilmu biologi/hayati yang akan selalu berkembang seiring bertambahnya hasil penelitian tentang bahan baku tersebut, yang digunakan oleh para pengrajin noken dari seluruh wilayah adat di Tanah Papua. Perihal ini, hasil penelitian yang dilakukan oleh Wiriadinata (1995) dan Wanma, dkk. (2013) bisa menjadi salah satu rujukannya.

Keragaman noken merefleksi keragaman flora dan fauna (sumber : Yayan Sopian)

Fisika

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline