Lihat ke Halaman Asli

Ayah Farras

mencoba menulis dengan rasa dan menjadi pesan baik

Mei 1998, Saksikan Kisah Kelam Tangis dan Darah dari Teras Matraman

Diperbarui: 13 Mei 2020   15:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: AFP

Aktifitas "ngampus" dan nge- band jadi kenangan yang paling indah dan bisa dibilang waktu diisi sangat padat. Padatnya kegiatan karena saat itu masa kuliah dan main alias "kongkow". 

Ya, saya masuk masa kuliah mulai tahun 95' di suatu kampus bilangan Jakarta Timur bisa dibilang kampus yang lahirkan aktivis garis keras di era itu.

Era 90an masih di bawah kekuasaan Soeharto yang memang lama menduduki kursi kekuasaan dari pada 12 Maret 1967. Saya lahir setelah 10 tahun pak Harto mulai berkuasa yaitu tahun 1977. 

Jadi dominasi kepemimpinan Pak Harto sangat kental terasa oleh orang yang seangkatan dengan saya. Namun tak melulu semuanya buruk dari yang sudah dilakukan rezim rezim yang disebut Orba (Orde Baru). 

Ehh kok ya ceritanya langsung nanjak ya ke Orba. Saya mau cerita dalam ingatan dan pandangan mata saat hari kerusuhan 13-15 Mei 1998. Hanya di zaman Pak Harto saya hapal nama-nama Menteri dan Gubernur di Indonesia.

Tahun 1998 sebenarnya bisa dianggap meletusnya bisul yang sudah waktunya nanah keluar walaupun ada rasa sakit terasa dan lumayan bikin meringis. Fenomena politik dalam catatan saya sebelum tahun 98' sebagai rakyat awam memang sudah fluktuasi dan terasa aromanya. 

27 juli 1996 bisa saja dianggap pemicu bangunnya girah perlawanan rakyat karena saat itu ada simbol dan dianggap teraniaya. Jadilah panggung politik berdarah suguhan tontonan rakyat dan saya yakin banyak korban luka maupun korban jiwa kala itu. 

Ada penjarahan dan pembakaran di sekitar markas partai yang kini bernama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Saya saksikan sendiri toko musik simpang jalan Tambak Matraman jadi korban penjarahan saat kuda tuli ( kerusuhan dua tujuh Juli ) terjadi. 

Namun saya yakin juga bahwa sebelum pecah kerusuhan di markas partai berlambang banteng tersebut pasti sudah ada pergerakan bawah tanah yang menguatkan pergerakan dan menjadi semakin solid. 

Jadi semua saling terkait dan jadi mata rantai merekatkan emosi rakyat hingga memukul psikologi rezim. Masuk era 98' di mana tahun-tahun itu terasa jalan tak pernah sepi dari lalu lalang rombongan bus pendemo dari berbagai kampus. 

Serasa hidup sekali rasanya dunia pergerakan mahasiswa walaupun tidak bisa hindari munculnya nyinyiran dari warga yang rasakan dampaknya dalam beraktifitas. Jalan raya selalu penuh dan macet jadi ya begitulah suasana jalan raya saat itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline