Lihat ke Halaman Asli

Ayah Farras

mencoba menulis dengan rasa dan menjadi pesan baik

Cerita Anak Tanggoel (Bagian I)

Diperbarui: 27 November 2019   12:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi siang sore dunia... ahhh masa kata itu sih yang muncul... hehehehe rasanya kata pagi dunia dah sering muncul kalo liat IG FB ataupun Twitter. Tapi anak Twitter suka jarang bilang pagi dunia hehehe "coz" anak Twitter biasanya lebih gimana gitu sebab begadangan pantau yang bersebarangan atau yang seirama sampai lupa kalo pagi sudah hadir.

Mungkin apa karena saya jadi bagian anak Twitter yang cuma jadi pengamat yang kadang-kadang deg-degan juga karena mau tahu apa ada yang komen counter atau bahkan yang bully. Rasa kayak gitu terus bercampur mengharu biru.

Stop.. stop, hehehe rasanya seperti Nano-Nano merk permen yang dari 90-an dan sekarang masih ada loh permennya. Kadang buat kondisi sekarang memang ada pentingnya bisa juga tidak karena terkait dengan tingkat kecepatan informasi apalagi menyangkut informasi lawan maupun yang jadi idolanya.

Tidak terbayangkan deh kalo zaman begitu cepat dengan teknologinya sampai-sampai mau pesen apa juga langsung datang ke rumah. Loh..loh beneran deh enak banget zaman now semua serba ada kalo mao tinggal order, kalo nyimak lagu Iwan Fals berjudul "Mimpi yang Terbeli" yang bunyi liriknya "Sampai kapan mimpi-mimpi itu kita beli, sampai nanti sampai habis terjual harga diri".

Tapi ada yang ngga berlaku dari lagu om Iwan Fals dengan lirik "Berjalan disitu ,melihat pertokoan, melihat barang-barang yang jenisnya beraneka ragam". Karena barang yang terpampang sekarang  bisa dilihat di provider aplikasi penjualan jadi ngga perlu jalan-jalan lagi depan toko dan buat kita jadi "ngiler" terus ingin pesan.

Ah Indonesia sih cuma jadi lemparan musim deh kata seorang kawan yang tahu online shop. Amazone atau e-Bay kan sudah duluan buat market produk tambah lagi AliBaba.

Sekali lagi stop...stop , bukan itu masalahnya heheheh kita kan jadi mau tahu masa transisi sebelum era kemudahan belanja maupun komunikasi. Sudah ya dan kita nyaman dengan kondisi saat ini tapi kan perlu juga bercerita gimana zaman sebelum ini. Dimana semua ngga mengira akan seperti saat ini kondisinya.

Ojek Payung

Ada rasa yang masih terasa dalam darah atau gimana ya setiap melintasi gedung KPK lama. Bukan karena pernah ada kasus atau pernah dipanggil KPK tapi ada cerita yang masih mengelayut di benak. Rasanya belum lama berlari-lari penuh semangat mengejar para pengguna jasa ojek payung bersama para pejuang kecil lainnya kisaran usia 9-10 tahunan. Gedung KPK lama dahulu adalah bernama Gedung Tira, nama itu jadi pilihan dan sebutan ketika hujan diantara pilihan lainnya seperti Cipta, kuningan atau setiabudi di seberangnya .

Lahir dan besar di kawasan yang sekarang sudah menjadi elit dengan fasilitasnya adalah bukan pilihan era 80-90an. Kalo bisa memilih pasti akan pilih kampung yang ngga akan digusur atau hilang karena ada rekatan yang terhempas hingga akhirnya terus berusaha untuk sambung rasa. Nah untuk kali ini boleh deh terimakasih sama teknologi informasi yang kian cepat menyambungkan ikatan dalam pencarian kawan-kawan kecil.

Dalam prosesnya hadirnya media sosial hadir merambat bersamaan juga proses pencarian para kawan-kawan secara langsung lewat info kontak terus datangi rumahnya. Sekarang sudah berjamur group-group FB/WAG/IG dan lainnya pengikat silaturahmi yang pastinya bercerita riwayat lawas dan kondisi terkini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline