"Akhirnya pengepungan ini berakhir sudah" pikirku, setelah mendengar kabar bahwa benteng yang telah kami kepung selama beberapa pekan telah terlihat adanya beberapa orang yang mengibarkan bendera putih tanda menyerah.
Sebagian dari kami para prajurit yang ikut serta dalam pengepungan mungkin merasa bangga akan kemenangan ini, dan mungkin ada juga yang mengharapkan adanya rampasan perang yang cukup berharga untuk dibawa pulang, syukur-syukur kalau bisa dijual, minimal dapat menjadi kenang-kenangan yang dapat menjadi kisah kebanggaan bagi anak-cucu mereka kelak.
Tapi bagi diriku ini, rasa syukur atas berakhirnya pengepungan ini tidak lain karena sudah lelah berminggu-minggu menghadapi kedinginan, kelaparan, dan kesulitan-kesulitan lainnya di dalam parit pengepungan, yang dibangun sebagai perlindungan kami para prajurit yang sedang mengepung benteng tersebut.
Bahkan kami banyak yang berpikir apabila musuh kami yang berada di dalam benteng selama beberapa pekan ini lebih nyaman kehidupannya dibandingkan kami, karena mereka tinggal di dalam bangunan yang tentunya jauh lebih hangat dan tidak menutup kemungkinan mendapatkan makanan yang relatif lebih kering daripada kami yang berada di luar. Meskipun kami juga hampir yakin kalau musuh kami ini juga sudah mulai kekurangan bahan pangan karena terputusnya pasokan pangan mereka dari luar setelah kami membangun parit perlindungan yang mengelilingi benteng mereka tanpa menyisakan celah sama sekali.
Memang tidak banyak korban di pihak kami selaku pasukan yang mengepung, yah walaupun ada saja yang terbunuh karena tembakan jarak jauh dari musuh kami di benteng, tetapi itu jumlahnya sedikit sekali. Di sisi lain musuh kami di dalam benteng belum kami bisa prediksi sejauh mana banyaknya korban, setelah kami selama pekan terakhir membombardir benteng mereka dengan tembakan-tembakan meriam yang seolah-olah tiada berhentinya.
Bisa jadi mereka ketakutan juga dan ada yang frustasi karena pemboman meriam-meriam kami, itulah yang lebih kami harapkan daripada bisa menghancurkan benteng mereka, ya jatuhnya psikologi merekalah yang lebih utama dibandingkan kehancuran bentengnya.
Bentengnya itu sendiri sebenarnya tidak besar-besar sekali, hanya saja letaknya yang lumayan strategis, karena berlokasi di persimpangan jalan untuk memasuki negara mereka, setidaknya jika benteng mereka jatuh maka akan memudahkan penaklukan selanjutnya lebih dalam.
Tapi terlepas dari itu semua, yang paling penting bagiku saat ini adalah pulang untuk menikmati masa cuti yang dijanjikan oleh panglima kami jika kami berhasil menaklukan benteng tersebut, semoga janjinya benar-benar dapat direalisasikan, biarpun ada kekawatiran juga pasukan kami akan lanjut masuk lebih dalam setelah jatuhnya benteng ini.
Tidak beberapa lama kemudian, "oh syukurlah beberapa dari kami mendapatkan surat yang ternyata isinya adalah izin untuk mendapatkan cuti..", tampaknya kesempatan itu harus segera diambil, karena siapa tahu panglima kami berubah pikiran jika situasi dan kondisinya berubah segera.
Kami yang mau mengambil cuti tidak kepikiran untuk melihat ke dalam benteng yang sudah menyerah tersebut, kami sudah sangat lelah, yang ada di dalam pikiran kami hanyalah pulang dan istirahat dulu. Tidak beberapa lama mereka yang mau cuti akan diantarkan gerobak-gerobak yang akan membawa mereka kembali pulang ke desanya masing-masing. Dan tentunya mereka setelah masa cuti itu habis harus segera kembali melapor kepada panglima lagi untuk siap kembali bertugas.
Diriku yang sudah melihat gerobak-gerobak itu sampai, tanpa berpikir panjang langsung naik, dan tidak berapa lama kemudian rombongan gerobak itu akhirnya berjalan meninggalkan pasukan kami menuju ke arah desa-desa kami.