Pernahkah kalian melihat atraksi tentara perbatasan India dan Pakistan setiap kali seremoni upacara penurunan bendera? Ada yang menarik dari seragam mereka, mereka tidak mengenakan seragam dipakai tentara modern pada umumnya.
Biasanya penutup kepala seorang tentara itu berupa topi baja atau baret, namun tentara perbatasan India ini justru mengenakan semacam turban khas daerah sana. Kalau ada yang mempertanyakan keefektifannya dipakai bertempur zaman modern ini, tentu saja tidak, karena seragam mereka hanya diperuntukan untuk kegiatan seremonial resmi.
Atau mungkin di antara kalian ada juga yang pernah menyaksikan parade tentara pengawal Paus di Vatikan, yaitu Swiss Guard. Lihatlah pakaiannya betapa berwarna-warninya, ada kuning, biru, dan merah, kelihatannya seragam tersebut terinspirasi dari baju perang yang pernah dikenakan pendahulu mereka saat masih abad pertengahan.
Sekali lagi, seragam mereka sama dengan seragam tentara perbatasan India dan Pakistan, hanya seragam seremoni resmi saja, bukan seragam tempur.
Melihat adanya praktek-praktek semacam itu, mengapa di Indonesia tidak mengadopsinya juga. Yang pasti tidak mengadopsi model seragamnya, namun idenya. Ide mengenakan baju khas Nusantara.
Bukankah negeri kita, ini sangat beranekaragam busana daerahnya. Dari ujung timur Papua hingga ujung barat Aceh saja, bentuk busananya sangat bervariasi.
Mesti dicatat, bahwa yang diadopsi bukan seragam adat daerah pada umumnya, melainkan seragam prajurit kerajaan yang dahulu pernah digunakan. Seandainya bukti sejarah yang dapat ditemukan mengenai seragam prajurit pada masa itu sulit ditemukan, maka alternatfnya dapat meniru baju adat secara umum yang disesuaikan dengan kebutuhan gerak luwes seorang prajurit.
Lalu apakah penting tentara Indonesia mengenakan baju adatnya setiap seremoni? Karena kebanggaan, ini akan menjadi pengingat kepada orang-orang luar negeri, bahwa bangsa kita itu kaya akan budaya, dan juga bangga mengenakan baju adatnya.
Bukan mengenakan penutup kepala yang sebenarnya berasal dari Eropa sana, yaitu Baret. Memang praktis sih memakai baret, tapi bukankah busana adat yang kita miliki itu juga dapat disesuaikan menjadi lebih praktis.
Misalnya blangkon, blangkon ini awalnya adalah ikat kepala. Ikat kepala waktu itu ribet pengikatannya, sehingga mempersulit saat pemakainya melepas dan mengenakannya kembali dengan cepat, dari situ muncullah ide blangkon, yang merupakan modifikasi ikat kepala dijahit permanen.
Apakah blangkon itu dapat dikenakan saat bertempur? Mungkin kalau zaman dulu, masih bisa, tapi zaman sekarang, nampaknya agak kurang praktis, entah ke depannya jika ada modifikasi yang jauh lebih praktis.