Lihat ke Halaman Asli

Rizky Purwantoro S

pegawai biasa

Poligami yang cukup sukses

Diperbarui: 23 November 2022   08:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Penulis memiliki seorang kakek kandung dari ibu, beliau sudah meninggal tidak lama setelah penulis lahir. Menurut cerita beliau adalah seorang pensiunan pegawai negeri di daerah Sulawesi Selatan.

Tapi bukan karirnya sebagai pegawai negeri yang akan diceritakan disini namun mengenai kehidupan rumah tangganya. Beliau telah berpoligami dalam kehidupan rumah tangganya dan cukup baik-baik saja menurut penulis karena sampai dengan wafatnya beliau dan kedua istrinya tidak ada konflik berarti.

Jika ada yang bertanya mengapa ada pegawai negeri yang bisa poligami, sepertinya itu karena kakek kandung saya ini berkarir sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun  1974 tentang Perkawinan berlaku. Undang-undang ini pada prinsipnya menganut asas monogami ditambah lagi pada masa yang bersamaan dibuat pengetatan dalam peraturan-peraturan kepegawaian terhadap praktek poligami di lingkungan pegawai negeri.

Kembali kepada praktek poligami yang dilakukan beliau. Latar belakang terjadinya poligami itu adalah karena pada suatu waktu istri pertama beliau sempat sakit yang lumayan keras, sehingga membuat sang istri sempat berpikir bahwa dirinya tidak akan lama lagi hidupnya. Atas dasar itulah istri pertamanya itu kemudian menyarankan kepada beliau untuk menikah lagi.

Istri pertamanya inipun merekomendasikan perempuan yang masih terhitung keponakan jauhnya sendiri untuk dijadikan istri kedua beliau. Akhirnya tidak beberapa lama kemudian maka dilangsungkanlah pernikahan beliau dengan perempuan yang sudah direkomendasikan istri pertamanya tersebut.

Akan tetapi tampaknya takdir berkata lain, istri pertama ternyata sembuh dan sehat seperti sediakala. Dari sini maka dimulailah kehidupan poligami dari rumah tangga mereka.

Jika kebanyakan praktek poligami saat ini para istrinya diberikan tempat tinggal masing-masing yang berbeda. Apa yang diterapkan kakek penulis dan istri-istrinya itu agak berbeda karena mereka semua, baik suami dan kedua istrinya itu tinggal di satu atap rumah yang sama.

Bahkan kedua istrinya tidak hanya tinggal disatu rumah tetapi juga didalam kamar yang sama. Dan kebiasaan itu terus berlanjut dan tidak berhenti setelah meninggalnya kakek penulis.

Penulis sendiri sempat bertemu cukup lama dengan istri-istri beliau yang notabene adalah nenek-nenek penulis sendiri. Penulis pun lahir dan sempat menjalani masa kecilnya dirumah mereka, diantara mereka bahkan sampai usia sepuh sekalipun tetap dapat menjalani kehidupannya dengan cukup harmonis padahal keduanya adalah para istri yang punya suami yang sama.

Belasan tahun kemudian istri pertama akhirnya juga wafat mengikuti mendiang suaminya. Peristiwa ini kelihatannya sangat memukul psikologis istri kedua, yang membuatnya sering sakit-sakitan hingga sempat menginap di rumah sakit, menjadikannya lebih sering melamun padahal dulunya tidak seperti itu.

Dan memang tidak menunggu waktu lama karena hanya beberapa tahun kemudian, sang istri kedua itupun juga wafat. Keduanya wafat dalam waktu yang berdekatan, sepertinya keduanya tidak hanya menjalani status sebagai istri pertama dan kedua saja namun mereka juga nampaknya sudah mirip sahabat yang telah lama menjalani hidup bersama sepeninggal kematian suaminya.   

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline