Lihat ke Halaman Asli

Rizky Purwantoro S

pegawai biasa

Unek-unek Mengenai Evolusi Hukum di Negeri Ini

Diperbarui: 4 November 2022   16:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam sejarah umat manusia, bentuk hukum boleh saja berganti, baik bentuk maupun mungkin penamaannya, namun yang perlu diperhatikan bahwa dapat saja intisari dari suatu hukum atau semacamnya ada kemiripan, sebuah kemiripan yang mungkin saja dapat terjadi disebabkan dengan adanya asas dan prinsip yang diakui oleh hampir seluruh manusia di zaman manapun. Selain adanya kesamaan asas dan prinsip, secara naluriah alami manusia biasanya akan membenci terjadinya suatu kejahatan yang lumrah disepakati khalayak umat manusia.

Misalnya saja terhadap kasus pembunuhan, layaknya manusia normal kebanyakan akan mengecam terhadap perbuatan membunuh sesama manusia, apakah dia itu beragama ataupun tidak beragama, apakah itu sejak zaman nabi Adam As atau manusia purba sampai dengan manusia dapat terbang ke bulan, sepertinya ada kecenderungan naluriah seorang manusia untuk membenci perbuatan membunuh sesama manusia. Pada zaman Jawa Kuno sendiri telah ada beberapa aturan main atau hukumnya apabila terjadi kasus pembunuhan, pada saat itu hukuman terberat tentu saja akan diberikan kepada mereka yang sudah dinyatakan bersalah oleh pihak yang paling berwenang dalam pengadilan, dalam hal ini pada masa modern disebut hakim.

Selanjutnya pada masa itu sangat diperhatikan kepedulian bagi setiap warga desa, tanpa kecuali terhadap apa yang terjadi pada desanya, ibarat satu warga melakukan kelalaian maka seluruh warga desa harus menanggung akibatnya. Para warga desa tidak boleh untuk tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitar desanya, disini terlihat sekali prinsip tanggung jawab bersama atas desa menjadi prinsip yang kuat dipegang oleh masyarakat pada masa Mataram Kuno tersebut. Berbeda sekali dengan yang terjadi saat ini yang kebanyakan tidak ambil peduli dengan perbuatan orang lain ,dimana pada masa Jawa Kuno tersebut sepertinya ketidakpedulian itu dianggap sebagai salah satu bentuk kejahatan tidak langsung yang mesti diberikan sanksi.

Dapat saja dengan mengambil contoh tersebut, kalau kita membiarkan terjadinya tindak pidana pada masa itu akan membuat kita sebagai saksi atau bahkan "hanya sekedar" orang yang kebetulan tinggal didekat terjadinya kejahatan dapat mengakibatkan kita mendapatkan sanksi juga. Tentu saja dengan tingkatan sanksi yang berbeda dengan mereka yang melakukan kejahatannya secara langsung.

Dengan adanya prinsip seperti itu disatu sisi memang memaksa para warga desa untuk senantiasa menjaga desanya dengan lebih maksimal, karena mereka akan kawatir dengan sanksi yang dapat saja dijatuhkan kepada desanya seandainya terjadi peristiwa kejahatan di wilayah jurisdiksi desanya. Namun tanggung jawab bersama atas keamanan desanya disisi lain menjadikan korban pemiskinan terhadap warga-warga desa lain yang mungkin saja tidak tahu apa-apa terhadap keadaan desanya dikarenakan kondisi yang memaksanya seperti memang dari awal sudah miskin atau karena sudah banyak pekerjaan yang dibebankan kepada mereka dari pihak pembesar kerajaan.

Kedepannya tidak sedikit para sarjana hukum di Indonesia yang menganjurkan pembuatan hukum modern yang disesuaikan dengan adat istiadat dan budaya rakyat Indonesia. Dari situ maka perlu adanya penelitian mengenai prinsip dan asas hukum yang telah mengakar di dalam adat istiadat dan budaya rakyat negeri ini, salah satunya adalah dengan menggali literatur-literatur hukum yang pernah diciptakan oleh nenek moyang kita sebelum kehadiran kolonialisme orang-orang Eropa di Kepulauan Nusantara ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline