Lihat ke Halaman Asli

Rizky Purwantoro S

pegawai biasa

Tradisi Perburuan Kepala pada Rumpun Bangsa Austronesia

Diperbarui: 2 November 2022   14:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tradisi ini terdengar mengerikan apalagi bagi kita orang yang hidup di zaman modern, tradisi ini dikenal namanya sebagai perburuan kepala atau kalau pada sebagian suku Dayak namanya adalah mengayau. Tapi tahukah kita jika tradisi berburu kepala ini ternyata tidak hanya menjadi praktek kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian orang Dayak saja, hal ini dapat dibuktikan dari berbagai sumber sejarah bahwa beberapa suku di kepulauan Nusantara ini juga dapat ditemui adanya praktek perburuan kepala yang mirip dengan yang ada di Kalimantan.

Menurut catatan beberapa misionaris Jerman disebutkan kalau penduduk kepualauan Nias yang terletak di barat pulau Sumatera pada sebelum abad 19 juga banyak terjadi praktek perburuan kepala. Hal yang sama juga pernah marak dilakukan penduduk daerah Minahasa dan Maluku terutama sebelum masuknya agama Kristen dan Islam disana.

Dan apabila diperluas kepada seluruh rumpun bangsa Austronesia, tampaknya perburuan kepala juga familiar sebagai kebiasaan dari penduduk asli pulau Taiwan dan suku Maori di Selandia Baru. Dengan adanya kesamaan ini dapat membuat kita bertanya-tanya apakah ini dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum nenek moyang kita rumpun bangsa Austronesia itu memang memiliki ciri khas kebudayaan asli salah satunya sebagai Ras Pemburu Kepala?

Praktek perburuan kepala pada rumpun bangsa Austronesia lebih banyak ditemui pada suku-suku yang kurang terpapar budaya Indianisasi dan agama Hindu. Ini yang menjelaskan mengapa suku-suku seperti Sunda, Jawa, Minangkabau, dan Melayu misalnya tidak ditemui praktek berburu kepala ini, mungkin pada waktu suku-suku ini belum terpengaruh budaya India tidak menutup kemungkinan adanya praktek yang sama namun akhirnya menghilang setelah beralihnya kepercayaan yang mereka anut.

Motivasi dasar setiap suku untuk mengadakan perburuan kepala memang bermacam-macam, hanya saja intinya mereka mengharapkan dengan adanya keberkahan setelah diadakan perburuan kepala tersebut dan kadang menjadi suatu prestise tersendiri jika berhasil memenggal dan mendapatkan kepala musuh. Mengapa kepala? Karena anggota tubuh yang satu ini memang dianggap sebagai anggota tubuh yang paling utama bagi seseorang, termasuk kehormatan dan kemuliaan dirinya.

Memang kalau dilihat dari kacamata modern abad 21 ini perburuan kepala seperti yang disebutkan diatas akan terlihat sangat tidak manusiawi. Tapi alangkah tidak adil dan tidak obyektif apabila kita membuat penilaian terhadap perbuatan yang biasa dilakukan masyarakat pada masa lampau berdasarkan persepsi yang dibangun menurut nilai-nilai yang hidup di zaman modern saat ini karena setiap nilai yang ada di masyarakat akan selalu dinamis berubah menyesuaikan dengan aspek-aspek yang berakar pada masa itu.

Kemudian karena bergesernya nilai-nilai yang diadopsi masyarakat seperti kepercayaan animisme yang awalnya dianut mereka lalu bertransformasi memeluk agama samawi seperti Kristen dan Islam menjadikan tradisi praktek perburuan kepala menjadi tidak relevan dan bahkan bertentangan dengan prinsip yang diajarkan didalam kitab suci-kitab suci agama samawi. Dengan semakin banyaknya yang menjadi penganut Islam dan Kristen maka semakin sedikit pula praktek perburuan kepala dan akhirnya dengan penerapan aturan hukum atau kesepakatan bersama antar kepala suku seperti diadakannya Tumbang Anoi dikalangan suku Dayak Kalimantan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline