Mix Martial Arts bisa jadi merupakan salah satu cabang beladiri yang saat ini sedang booming, tapi perjalanan cabang beladiri tersebut tidaklah sebentar. Banyak yang berpendapat bahwa sebenarnya Mix Martial Arts atau biasa disingkat MMA ini sebenarnya telah lama sekali berkembang dan dapat dianggap sebagai salah satu akar beladiri kuno sepanjang sejarah umat manusia.
Salah satu yang paling tersohor adalah pentas Gladiator yang pernah menjadi pertunjukkan sekaligus hiburan utama pada masa puncaknya Imperium Roma sebelum mereka memeluk agama Samawi. Tetapi tentu saja level kekerasan pada masa itu jauh berbeda dengan zaman sekarang yang jauh lebih manusiawi.
Belajar dari perjalanan MMA secara umum, mungkin dapat dijadikan pelajaran bagi kita yang ada di Indonesia. Selain pentas MMA yang di kancah One Pride Championship yang saat ini masih diputar, negeri ini juga memiliki kancah MMA namun lebih bernuansa tradisional dibandingkan MMA yang biasa kita lihat di televisi atau di media sosial.
Kancah MMA itu dikenal sebagai nama Pencak Dor yang diadakan di Lirboyo, Jawa Timur. Secara aturan memang sedikit agak berbeda, dimana pertarungan didalam Pencak Dor, tidak atau belum mengenal pertarungan bawah atau lantai atau submission. Mungkin karena MMA di negeri ini memiliki tradisi perkelahian jalanan yang agak berbeda dibandingkan negara-negara barat. Jika di negara-negara barat konon mereka berkelahi pada akhirnya selalu berada pada pergelutan dibawah, sedangkan pada kebiasaan berkelahi di Indonesia bisa jadi berkelahinya lebih disukai untuk tetap berdiri sampai akhir dan kalau ada yang terjatuh mungkin akan ditunggu sampai lawannya bangkit.
Itulah yang mungkin menjadi penyebab mengapa aturan Pencak Dor cenderung mengutamakan prinsip bertarung secara berdiri. Dan jika dicermati lebih mirip dengan aturan pada pertarungan tinju tanpa gloves atau lebih dikenal sebagai Bare Knuckle Boxing daripada dengan MMA.
Namun apakah lebih mirip Bare Knuckle Boxing atau MMA, tetap saja bahwa pentingnya professionalisme terhadap penyelenggaraan suatu pentas pertarungan bebas itu tetap diperlukan karena berpotensi untuk menarik modal yang dibutuhkan dalam perkembangan turnamen itu kedepannya. Akan tetapi untuk menjadi professional atau tidak itu adalah pilihan, karena proses menjadi professional memang pasti memiliki efek samping yang tidak selalu positif.
Sedangkan jika dalam prospeknya Pencak Dor lebih dilihat sebagai kearifan lokal yang harus dilestarikan daripada sebuah pentas turnamen modern maka tidak salah juga kearifan lokal dalam bentuk turnamen antar petarung ini tetap diadakan dalam format apa adanya seperti saat ini. Setidaknya Pencak Dor masih dapat dijadikan sarana bagi petarung MMA lokal yang ingin menjajal kemampuannya selain turnamen modern, tentu saja mereka akan merasakan nuansa dan sensasi yang berbeda dibandingkan yang selama ini mereka dapatkan dari pertarungan-pertarungan dalam kompetisi yang sebagian besar telah mereka jalani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H