Akankah jumlah petani di Indonesia habis? Pertanyaan yang mungkin terkesan berlebihan dan sepertinya tidak masuk akal suatu negeri jumlah petaninya sudah tidak ada lagi alias nihil. Namun yang dapat terjadi adalah tidak menutup kemungkinan jumlah petani negeri ini tinggal berjumlah sangat sedikit, saking sedikitnya sehingga tidak dapat mensuplai jumlah makanan yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia yang justru semakin bertambah. Kalau negeri kecil seperti Singapura atau Hongkong mungkin wajar saja jika mereka tidak membutuhkan jumlah petani yang signifikan untuk mendukung ketahanan pangan masyarakatnya, mereka bisa saja menggantungkan hampir 100 persen pada impor makanan karena negeri-negeri memiliki wilayah yang sangat kecil yang membuatnya tidak memungkinkan untuk membuka lahan pertanian yang layak.
Akan tetapi kalau itu yang terjadi pada negara sebesar Indonesia maka dapat disebut sebagai suatu ironi. Ironi dari negara yang konon pada suatu masa lalu pernah mendapat julukan sebagai Zamrudnya Khatulistiwa untuk menggambarkan bagaimana suburnya tanah-tanah pertanian di sana. Predikat Indonesia sebagai negeri agraris sering didengung-dengungkan oleh pembesar kita dan diajarkan oleh guru-guru di sekolah kita dulu. Bahkan sampai ada lagu yang salah satu syairnya menceritakan kalau tanah di Indonesia jika ditanam apapun maka akan tumbuh sekalipun itu hanya sebatang kayu.
Jumlah petani dari waktu ke waktu semakin menyusut jumlahnya. Pernah beberapa dekade yang lalu seperti tahun 60 hingga 70an persentase jumlahnya mencapai 50 persen lebih, namun seakan jumlahnya seperti menguap berkurang drastis hingga menjelang tahun 2000an jumlahnya tersisa tinggal kurang lebih 35 persen. Kemungkinan terburuk bisa saja terjadi pada tahun 2035an adalah sekitar 15 persen, jumlah yang kalau tidak diimbangi oleh kompetensi mereka akan teknologi pertanian dapat menyebabkan jatuhnya produktivitas hasil pertanian para petani. Kalau kuantitas menurun tetapi kualitas meningkat maka hasil pertanian bisa saja tetap dijaga jumlahnya tetapi jika kuantitas dan kualitas sama-sama menurun maka dampaknya akan sangat merugikan ketahanan pangan di Indonesia.
Penggunaan mesin secara massif untuk memperbanyak jumlah hasil pertanian tentunya harus dapat di akomodir oleh petani yang tidak gagap teknologi. Memang umur tidak menjadi jaminan, tapi kenyataannya umur generasi Baby Boomers dan generasi Y tidak terlalu familiar teknologi dibandingkan generasi anak cucu mereka, dan itulah yang terjadi pada angka tenaga pertanian yang masih dominan oleh petani yang berusia diatas 40an, dimana petani yang berusia 20an hanya mentok di angka 20 persen. Menggambarkan bagaimana kesulitannya para petani yang umurnya sudah cukup tua untuk mengadaptasi teknologi pertanian sehingga produktifitasnya juga terganggu untuk mengejar hasil pertanian yang lebih baik.
Petani dan tanah merupakan dua sisi yang hampir tidak mungkin dipisahkan dalam dunia pertanian, terutama bagi petani mereka akan sangat membutuhkan tanah hingga dapat dianggap mereka membutuhkan tanah layaknya pemberi kehidupan.
Banyak atau sedikitnya penghasilan yang mungkin para petani dapatkan bisa terlihat dari luasnya lahan tanah yang mereka miliki, semakin luas tanah yang mereka dapat garap tentu saja berdampak kepada potensi penghasilan yang dapat dibawa pulang, begitu pula sebaliknya semakin sempit luas tanah lahan yang dapat mereka garap mempunyai konswekensi terhadap berkurangnya penghasilan yang dapat mereka nikmati. Apalagi banyak petani yang ternyata sama sekali tidak memiliki tanah sama sekali yang disebut juga sebagai buruh tani, nasib mereka sangat memprihatinkan karena menggantungkan penghasilannya kepada tenaganya saja yang untungnya masih dapat dipakai.
Buruh tani bisa dipastikan kalau mereka berada dibawah garis kemiskinan, penghasilannya jauh dibawah angka uang yang layak untuk memberi nafkah bagi diri dan keluarganya. Dan tidak sedikit banyak anak-anak mereka yang mengalami kekurangan gizi sehingga menyebabkan malnutrisi dan angka kejadian stunting banyak terjadi di kalangan anak-anak buruh tani.
Bukannya tidak pernah ada usaha untuk dilakukannya pembagian tanah lebih adil kepada mereka yang berkecimpung sebagai buruh tani. Langkah-langkah seperti itu pernah terwujud pada saat dibuatnya Undang-Undang Pokok Agraria pada masa rezim Orde Lama, dengan melahirkan undang-undang ini banyak harapan akan tercapainya kesejahteraan petani gurem, termasuk buruh tani di negeri ini untuk dapat mendongkrak pemasukan finansial mereka. Undang-Undang Pokok Agraria memang diusung kaum Kiri dengan niatan agar dapat merangkul para petani, utamanya buruh tani yang sayangnya menimbulkan ekses-ekses negatif berupa konflik horizontal di masyarakat antara para petani gurem dengan para pemilik tanah yang digugat status kepemilikannya.
Permasalahannya semakin ruwet dengan terjadinya peristiwa kup pada tanggal 30 September 1965 yang konon dilakukan oleh kaum Kiri yang bernaung di dalam Partai Komunis Indonesia. Karena terjadi peristiwa itu menyebabkan semua yang pernah diusung oleh mereka mendapatkan stigma yang dianggap jelek oleh musuh-musuh mereka. Termasuk diantaranya adalah Undang-Undang Pokok Agraria ini, memang undang-undang ini tidak dicabut dan masih berlaku hanya saja statusnya seperti menjadi mati suri, dibiarkan begitu saja 'seperti seonggok daging yang kelamaan membusuk hingga dikerubungin lalat'.
Mungkin undang-undang ini pernah diusung atau bisa jadi hanya dijadikan jargon politik oleh kaum Kiri. Tetapi apa yang terkandung didalamnya sebenarnya tidak selalu bermuatan kekiri-kirian dan seandainya ada tetapi lebih banyak manfaatnya buat para petani, khususnya buruh tani maka tidak ada salahnya untuk diadopsi.
Disini kita perlu melihat dengan obyektif bahwa yang dilihat bukan siapa yang mengusung akan tetapi yang sebaiknya dilihat apakah dapat bermanfaat untuk kepentingan orang banyak. Bukan melihat sisi ideologisnya saja namun perlu dicermati aspek pragmatism, mengenai apakah lebih banyak maslahat dibandingkan mudhoratnya.