Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Asif

Lecturer and reseacher

Populisme Islam dan Politisasi Agama (Islam) di Indonesia

Diperbarui: 3 Maret 2019   19:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Doa Neno Warisman yang viral di media sosial beberapa hari terakhir mengingatkan saya pada istilah populisme Islam. Seolah Neno ingin membangun narasi "karena saking tertindasnya umat Islam, jadi jika sampai calon presiden pilihan yang diharapkan akan menjadi pembela tidak menang, maka mereka akan putus asa dan kemudian akan berhenti menyembahNya". Doa tersebut --bagi saya-- seolah ingin "mengancam" Tuhan untuk mencapai tujuan politik tertentu. Saya pun kemudian mencari dan membaca literatur tentang istilah tersebut.

Belakangan populisme politik menjadi tren yang cukup menggejala di berbagai negara. Kemengan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika menandai munculnya momentum populisme di negara yang konon "paling rasional" tersebut. Trump melalui sloglan "American First" nya secara massif menyerang lawan politiknya, Hillary Cinton dengan isu-isu yang diproduksi: semakin mundurnya Amerika, semakin terpinggirkannya warga Amerika di negaranya sendiri, semakin terbaikannya kepentingan Amerika dan lain sebagainya. Dengan isu-isu itu Trump pun akhirnya menang.

Di Indonesia, kejatuhan (atau mungkin lebih tepatnya penjatuhan) Ahok dan kemengangan Anis Baswedan dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta juga bisa dilihat dalam konteks populisme. Anis menang jelas karena isu-isu yang massif diproduksi oleh gerakan aksi pembela Islam---kemudian menjadi gerakan 212-- yang mengatasnamakan :pembela agama (Islam) yang dinistakan, sentimen anti China, anti pemerintahan yang menindas dan semacamnya.

Lantas apa itu populisme politik? Apa itu populisme Islam?

Menurut Azyumardi Azra populisme politik mengacu pada pendekatan dan atau gerakan politik yang mengklaim berbicara atas nama atau mewakili rakyat biasa dalam penghadapan dengan elit politik dan/ atau penguasa politik mapan. Dari sisi ini populisme politik adalah semacam pemihakan atau pembelaan pada massa rakyat yang selalu dikorbankan elit politik dan/atau rezim penguasa. Dengan ideologi ini, pemimpin populisme politik lazimnya digerakkan oleh figur karismatik yang fasih dengan retoriknanya menyerang elit politik tertentu dan/atau rezim penguasa. Secara historis Istilah populisme politik pertama kali digunakan di Amerika Serikat pada 1892 ketika muncul 'Gerakan Populis' yang menghasilkan pembentukan partai Populis atau Partai Rakyat (Azra, "Populisme Islam, Republika, 4 Januari 2018).

Populisme politik menemukan momentum di beberapa negara Eropa sejak tiga dasa warsa terakhir, dan di Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir dengan puncaknya terpilihnya Donal Trump sebagai presiden. Di Eropa populisme politik belakangan misalnya muncul di beberapa negara seperti Belanda, Prancis, Inggris dan Swedia. Di Belanda misalnya muncul Geert Wilder dan di Prancis Marine Le Pen dengan mendirikan partai populisme politik masing-masing. Partai mereka mengusung iideologi anti imigran, anti-Islam, dan juga anti Uni Eropa. 

Krisis dan kesulitan ekonomi yang dideriita banyak negara Eropa kemudian memberikan lahan politik yang subur bagi figur dan partai populis untuk menemukan momentumnya. Meskipun perolehan suara mereka cenderung meningkat, kecuali di Amerika Donal Trump, mereka belum berhasil menjadi pemenang pemilu.

Lantas bagaimana dengan populisme Islam?

Populisme politik di negara-nagara berpenduduk mayoritas muslim muncul karena beberapa faktor. Studi yang dilakukan Vedi R. Hadiz terhadap 3 negara, Turkey, Mesir dan Indonesia menganalisis bahwa kolonialisme yang menimpa di berbagai negara Islam, otoritarianisme pemerintahan selama bertahun-tahun dialami negeri-negeri tersebut dan termarjinalkan dalam sistem politik global kemudian membangkitkan perasaan bersama: tertindas yang pada gilirannya melahirkan gerakan populisme.

Di Turkey pengalaman sekularisasi di era Mustofa Kemal yang menurut Keren Amstrong "kebablasan" tidak hanya meminggirkan Islam --yang merupakan agama mayoritas---dari ranah politik dan publik, tapi juga mempersempit para borjuasi cilik di Turkey. Sumber-sumber yang awalnya dikelola oleh para borjuis pun kemudian diambil pemerintah. Pada akhirnya ini kemudian melahirkan gerakan-gerakan politik Islam.

Sementara di Mesir kemunculan kelompok Ikhwanul Muslimin dan kelompok Tarbiyah kemudian menjadi kendaraan bagi kelompok-kelompok Islam yang termarjinalkan oleh sistem (Garadian, 2017). Otoritanisme yang berkepanjangan di Mesir baik era Anwar Sadat hingga Husni Mubarok, tidak hanya membungkam kelompok Islam seperti Ikhwan, tapi juga memarjinalkan beberapa kelompok lain. Dengan narasi-narasi ketertindasan dan meawan pemerintahan otoriter Ikhwan berhasil menyatukan berbagai kelompok di Mesir untuk mencapai tujuan yang sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline