Tanggal 31 Januari kemaren adalah hari lahir NU (Nahdlotul Ulama), organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan mungkin di dunia jika hanya dilihat berdasrkan jumlah massa yang dimiliki. Kemaren NU merayakan Harlah (hari lahirnya) yang ke-93. Meskipun tulisan ini telat sehari, tapi saya kira tidaklah mengapa.
Sebelum tahun 1980an NU barangkali merupakan organisasi Muslim di Indonesia yang paling tidak mendapat perhatian dari para pengamat. Para ilmuwan Barat yang mengamati Indonesia pun pada awalnya lebih tertarik untuk mengamati kelompok-kelompok modernis seperti Muhammadiyah dari pada mengamati NU. Bagi mereka kelompok modernis lebih dinamis dan lebih menarik secara akademis.
Nama-nama seperti MT. Kahin, Harry J. Benda, James L. Peacock dan yang lainnya bahkan hampir-hampir tidak pernah menyinggung tentang NU. Demikian pula para akademisi lain. Para Ilmuwan Sosial Amerika yang datang ke Indonesia antara tahun 1950an samapai 1960an lebih teratrik pada gerakan modernisme Islam seperti Muhammadiya, Masyumi dan sama sekali mengabaikan NU.
Muslim tradisional, NU dan pesantrennya sering dianggap sebelah mata oleh para akademisi karena dianggap terlalu terbelakang, sehingga tidak pantas mendapatkan perhatian akademik. Dalam periode ini NU tidak hanya "terabaikan" secara akademis, namun juga sering disalah pahami.
Clifford Geertz dalam karyanya yang sangat terkenal The Religion of Java yang menggambarkan tradisi keagamaan masyarakat Jawa secara etnografis, ia justru menyebut muslim tradisional dan pesantren yang menjadi basis NU sebagai Muslim kolot, "anti modernisme", sebuah term yang benar-benar negatif.
Islam tradisional, pesantren sering digambarkan oleh para pengamat tak lebih sebagai "muslim kolot", "kaum sarungan", "cap kuburan" karena mereka sering berziarah kubur, dan gambaran-gambaran lain yang peyoratif. Bahkan pesantren digambarkan tak lebih sebagai tempat anak-anak ndeso yang belajar Al-Qur'an dan belajar dasar-dasar agama.
Anehnya pandangan-pandangan para ilmuwan Barat juga didukung oleh para akademisi dalam negeri yang mengkaji gerakan-gerakan Islam. Mungkin karena masih bias latar belakang. Kebanyakan pengkaji dalam negeri berlatar belakang modernis, seperti Deliar Noer, yang menulis Disertasinya pada 1960an, Mukti Ali (yang meskipun pernah belajar di pesantren Termas, Pacitan, dia adalah seorang tokoh Muhammadiyah) dan lain sebagainya.
Pada periode-periode ini memang hampir tidak ada akademisi yang berlatar belakang NU atau pesantren yang bisa memberikan penjelasan akademik tentang dunianya. Deliar Noer misalnya dalam karyanya yang terkenal, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 ia memberi kesimpulan yang sama sekali bias tentang kelompok tradisi, sebuah kelompok yang dipertentangkannya dengan kelompok modernis. Berikut
"Golongan tradisi lebih banyak menghiraukan soal-soal agamanya, din atau ibadah belaka. Bagi mereka Islam seakan sama dengan Fikih...Walaupun golongan ini mengaku menjadi pengikut mazhab, umumnya Syafi'i, mereka umumnya tidak mengikuti ajaran pendiri mazhab itu langsung, melainkan ajaran imam yang datang kemudian, sering pula ulama yang menyimpang dari ajaran pendiri mazhab itu.
Dalam rangka tasawuf, banyak dari golongan ini jatuh pada perbuatan yang termasuk syirk, mempersekutukan Tuhan dengan benda-benda. Mereka menghormati keramat, memberikan sajian-sajian, mengadakan slametan atau kenduri sebagai sedekah kepada arwah, memamkai azimat, jimat, atau tangkal penolak balak untuk melindungi diri, semuanya dengan akibat mengaburkan pengertian tauhid" (lihat Noer, 1982: 320 ).
Namun meskipun memberikan gambaran yang bias tentang kelompok tradional, Noer dalam kajian tersebut memberikan "sedikit" kontribusi kepada NU, dengan memberikan uraian sekilas tentang sajarah berdirinya organisasi Muslim tradisional tersebut.