Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Asif

Lecturer and reseacher

Kenapa Abu Bakar Ba'asyir Tak Dibebaskan Saja?

Diperbarui: 28 Januari 2019   07:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Yusril Ihza Mahendara pada 19 Januari mengatakan bahwa ustadz Abu Bakar Ba'asyir, tepidana kasus terorisme, akan dibebaskan oleh pemerintah secara tak bersyarat.

 Kemudian Presiden Jokowi seperti dilansir oleh detik.com, 22 Januari, mengeluarkan penytaan bahwa pembasan Abu Bakar Ba'asyir bersyarat, yaitu setia kepada NKRI.  Hal ini tampaknya menanggapi pernyataan Yusril Ihza Mahendra yang sebelumnya mengatakan bahwa Ba'asyir akan dibebaskan tanpa syarat. 

Sementara Mahfud MD, kemudian menanggapi polemik itu, dengan mengatakan bahwa pembebasan Abu Bakar Ba'asyir sejak awal salah prosedur (Liputan6.com, 26 Januari). 

Berbagai polemik pun muncul, misalnya dari sudut pandang hukum, apakah persoalan itu bertentangan dengan hukum atau tidak. Namun yang jelas akhirnya ustadz Abu --demikian santri-santri di pesantren Al-Mukmin, Ngruki menyebutnya--, tak jadi dibebaskan. Namun penulis di sini tak akan mengulas tentang persoalan tersebut. Saya bukanlah seorang ahli hukum yang bisa melihat persoalan itu dari perspektif hukum. Saya akan melihatnya dari sudut pandang lain.

Saya pernah tinggal di Solo--kota dimana Ba'asyir tinggal--, cukup lama, setidaknya 8 tahun. Saya sering berinteraksi dengan cukup banyak alumni pesantren Ngruki yang tentu saja dulu muridnya Ba'asyir. 

Saya tentu saja juga mengamati bagaimana pandangan masyarakat Muslim di sana, terutama kelompok reformis/ atau puritan--yang merupakan kelompok mayoritas atau setidaknya merekalah yang menguasai ruang-ruang publik di Solo, bahkan menurut Riclef, NU dan Muhammadiyah yang merupakan organisasi Islam terbesar pun tidak cukup bisa berperan di sana--memandang Ba'asyir. Ba'asyir jelas orang yang sangat dihormati di sana. Ia memiliki banyak pengikut dan simpatisan, selain tentu saja santri-santrinya di pesantren Ngruki. 

Ba'asyir juga memiliki rekam jejak 'perjuangan yang panjang, mulai dari melarikan diri ke Malaysia bersama Abdullah Sungkar karena menolak asas tunggal yang diberlakukan oleh presiden Soeharto terhadap semua organisasi, ikut bergabung dan menjadi salah satu tokoh JI (Jam'ah Islamiyah) yang merupakan organisasi teroris paling 'disegani' di Asia Tenggara, mengirimkan  para mujahid ke Afganistan, mendirikan Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), hingga akhirnya dimasukkan ke penjara atas tuduhan terorisme. 

Hingga sekarang ia telah menjalani  9 tahun dipenjara dari total 15 tahun yang dibebankan kepadanya. Ba'asyir pun usianya sudah tua, dan atas  dasar alasan kemanusian ada baiknya kalau dia dibebaskan. Saya yakin ia sudah tua renta, energinya sudah tidak seperti dulu, saya pun yakin kalaupun dibebaskan dia tidak akan lagi memimpin atau mengorganisir kegiatan-kegiatan yang membahayakan orang. 

Yang mungkin adalah dia menjadi seorang  ideolog. Namun jika dia tidak dibebaskan, apalagi kalau sampai kelak meninggal di penjara, justru Ba'asyir akan menjadi martir, akan menjadi simbol perjuangan "jihad" terhadap penguasa yang dianggap zalim. Dia justru akan selalu dikenang dan menjadi alasan bagi para pengikut dan simpatisannya untuk terus "berjihad".

Belajar dari Kasus Nasir Abbas

Saya mencoba mengingat kembali kisah ini. Kisah ini dituturkan oleh si pelaku, Nasir Abbas, mantan komandan Jama'ah Islamiyah, dalam sebuah telekonferen tentang perdamaian yang dislenggarakan di Solo dan Ambon dalam waktu bersamaan. Di Solo dihadiri oleh mantan pemimpin laskar Jihad, Ja'far Umar Thalib, sedangkan di Ambon dihadiri oleh Nasir Abbas. Acara itu dilaksanakan pada 2009. Dalam telekonferen itu Nasir Abbas menceritakan alasan dia kembali "bertaubat". 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline