Lihat ke Halaman Asli

Bahan Bakar Kendaraan dari Sampah? Kenapa Tidak!

Diperbarui: 30 Desember 2015   08:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Penumpukan sampah di TPA Bantar Gebang. photo source: efekgila.com"][/caption]

Mendengar kata sampah, masyarakat di Jabodetabek, khususnya DKI Jakarta, pasti sangat mengenal nama Bantar Gebang. Ya, meski berada di wilayah Bekasi, Bantar Gebang justru dikenal sebagai satu-satunya tempat pembuangan akhir sampah warga Jakarta. Tak kurang dari 7.000 ton sampah yang dikirim ke Bantar Gebang setiap hari. Ditumpuk dan terus ditumpuk.

Ribuan ton sampah juga dibuang ke TPA sejenis di banyak kota besar di Indonesia. Semuanya punya pola yang sama. Sampah-sampah yang mayoritas merupakah sampah rumah tangga tersebut hanya ditumpuk dan terus ditumpuk tanpa pernah dipikirkan cara untuk memanfaatkan limbah tersebut menjadi sesuatu yang berguna.

Padahal, teknologi untuk memanfaatkan atau mengolah sampah menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi manusia sudah ada alias eksis, setidaknya di negara-negara maju. Bukan sekadar hanya sebuah fiksi seperti di film-film Hollywood. Salah satunya adalah mengubah sampah yang tak bermanfaat menjadi biofuel yang bisa digunakan sebagai bahan bakar kendaraan.

Bahan bakar kendaraan yang diproduksi dari sampah ini menjadi alternatif yang cukup menjanjikan karena sumbernya bakal terus ada. Berbeda dengan BBM yang setiap hari kita gunakan yang sumbernya terbatas dan akan habis pada suatu waktu nanti.

Biofuel yang berasal dari sampah ini merupakan generasi kedua yang memang diproduksi dari bahan-bahan yang tidak digunakan oleh manusia. Pada biofuel generasi pertama, bahan-bahan yang digunakan umumnya dimanfaatkan langsung oleh manusia. Seperti jagung, gandung, tebu. Dengan demikian, biofuel generasi kedua yang dikenal dengan nama cellulosic ethanol ini punya peluang lebih besar untuk terus dikembangkan dan dimanfaatkan oleh manusia.

Di negara-negara Eropa, penelitian bahan bakar biofuel yang berasal dari sampah atau limbah rumah tangga untuk kepentingan masyarakat terus dilakukan. Prediksinya, pada 2030 nanti penggunaan biofuel yang berasal dari sampah sudah mencapai 16% dari total penggunaan bahan bakar di seluruh jalanan Eropa. Harapannya emisi karbon yang dihasilkan dari kendaraan bakal bisa ditekan. Berdasarkan jurnal yang dirilis Global Change Biology, biofuel dari sampah ini memang bisa menekan angka jumlah gas karbon di dunia hingga 80%.

Bagaimana dengan di Indonesia? Melalui PT Pertamina yang merupakan BUMN yang mengurusi bahan bakar minyak di tanah air, pengembangan biofuel juga terus dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu tahapan Pertamina untuk menyediakan energi dengan kualitas prima dan berbiaya murah ini adalah dengan membentuk Direktorat Khusus Energi Baru Terbarukan (EBT). Ini merupakan langkah mendukung program pemerintah yang ingin menggenjot pengembangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan untuk mencapai 23% dari total bauran energi pada 2025.

Khusus untuk biofuel, Pertamina akan terus memproduksi bahan bakar yang diklaim lebih ramah lingkungan ini yaitu terdiri dari green diesel dengan kapasitas 0,58 juta kl per tahun, co-processing green diesel 0,14 juta kl per tahun, co-processing green gasoline 0,23 juta kl pertahun, bioavtur 257 ribu kl per tahun, bioetanol sebesar 76 ribu kl per tahun, dan 10 ton per hari bio-LNG plant. Artinya, Pertamina memang tidak tinggal diam dalam menyikapi perkembangan energi baru terbarukan yang terus berkembang di dunia.

Terkait dengan sampah yang bisa diubah menjadi biofuel, sudah saatnya Pertamina ikut turun tangan dalam mengembangkan sumber baru ini menjadi bahan yang bermanfaat bagi rakyat Indonesia. Terlebih, sampah merupakan sesuatu yang akan terus “diproduksi” masyarakat dan bakal terus ada hingga kiamat tiba. Artinya, Pertamina tidak akan kesulitan mendapatkan sumber daya buatan ini untuk memproduksi biofuel.

Permasalahannya, akankah Pertamina berani berinvestasi sekitar 175 juta euro atau lebih dari 2,6 triliun rupiah! untuk membangun satu buah biorefinery? -- Itu merupakan angka estimasi yang dibutuhkan untuk membangun sebuah biorefinery seperti yang dibangun di Eropa. Inilah yang menjadi tantangan khusus bagi Pertamina untuk bisa mewujudkan kemandirian energi dengan memanfaatkan sumber yang notabene sangat berlimpah tersebut. Hari gini, siapa sih yang tidak membuang sampah?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline