Lihat ke Halaman Asli

Kamu Jangan Pergi Dulu, Aku Ingin Memberikanmu Sesuatu

Diperbarui: 22 Agustus 2019   14:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pinterest.com/anthoneyanderse

Kamu jangan pergi dulu, aku ingin memberikanmu sesuatu

Sebenarnya itulah yang ingin aku ungkapkan kepadamu, di suatu siang ketika kita berpisah, lalu memberikan sebuah buku karangan Puthut Ea. Namun, baiklah kuakui, aku tak mempunyai cukup keberanian untuk merealisasikan hal tersebut. Sepersekian detik setelah kita berpisah, penyesalan merundungiku. Kenapa aku begitu pengecut dan tolol dan lemah dan memuakkan?. Tak ada kesempatan kedua, pikirku. Tapi, Diriku yang lain justru mengapresiasi kepengecutanku. Jangan berikan, nanti kamu terperosok makin dalam.

Begitulah, maka bersama buku ini, aku akan dilupakan seiring waktu. Berdebu dan kusam. Rusak dan terbengkalai. Hilang dan terkubur. Semestinya kamu tau, itu hal pertama yang terpacak di pikiranku. Gagasan akan dilupakan olehmu timbul secara bertahap dan itu membuatku ketakutan. Apa yang harus kita punyai agar terbebas dari ketakutan? Pertanyaan dalam novel "Jalan Tiada Ujung" karya Mochtar Lubis merasuk tanpa ijin ke kepalaku. Oh mungkin tak ada jawaban paling logis untuk pertanyaan filosofis. Masalahnya, aku memang tak berencana memasukkan elemen logika dalam cerita ini. Biarkan pertanyaan itu mengendap dengan sendirinya.

Rencana pemberian buku ini sudah ada sejak kita bersama-sama menyambangi gramedia -Sial, ada 2 orang pengganggu ketika itu-. Seharusnya begini: Aku belikan sebuah buku lalu aku bungkus memakai kertas kado lalu aku berikan padamu saat malam menjelang lalu semoga kamu tetap ingat kepadaku setelah segala ontran-ontran kegiatan ini. Tapi realitanya: Aku belikan sebuah buku lalu aku tak punya keberanian memberikannya lalu kita berpisah lalu aku dilupakan. Sangat sederhana. Tapi, kesederhanaan adalah hal paling rumit di dunia, begitu orang berkata.

Aku tau, bahwa aku memiliki seorang berharga disampingku, dan sebagaimana aku, kamu pun begitu. Kesunyianmu yang kulihat setiap hari tentu saja tak bisa hilang dengan sepatah dua patah kata dariku. Pun, semua cerita yang telah kamu lalui, belum tentu bisa aku pahami dengan baik. Namun, maaf aku terjerat!. Bahwasanya aku harus menjadi --setidaknya- seseorang yang akan diingat olehmu begitu terpacak di kepala. Maka aku enyahkan segala alasan yang menjauhkanmu dariku --Sudah kubilang, aku sengaja tak memasukkan elemen logika dalam cerita.

Mungkin -versi lebih pengecut, tentu saja- tanpa sadar aku meniru Kisah Heroik Sydney Carton dalam novel "A Tale of Two City" karya Charles Dickens yang rela mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan kekasih dari perempuan yang dicintainya. Aku membaca, seolah-olah, Carton ingin melakukan sesuatu agar dikenang oleh Lucie-Perempuan yang dicintainya-, hal terakhir yang bisa Carton berikan. Kalau tanpa sengaja kamu membaca tulisan sunyi ini, aku berharap semoga kamu mengerti maksudku dan kita bisa bertemu kembali di ruang imajiner ciptaanku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline