Lihat ke Halaman Asli

Berkaca Pada Keteladan Para Pemimpin Bangsa Sejati

Diperbarui: 7 Agustus 2015   03:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pileg dan Pilpres 2014 sudah berakhir dengan pemenang pilihan rakyat dan pastinya takdir Ilahi telah memilih Bapak Joko Widodo sebagai Presiden RI ketujuh secara sah.

Namun demikian, tampaknya bangsa ini masih dalam keadaan sakit parah, karena apa yang dipertontonkan oleh para elit politisi dan para pendukungnya dari partai yang kalah pemilu ini masih juga menebar kebencian dengan fitnah tanpa henti yang sejatinya hanya menundukkan bahwa mereka tidak ikhlas menerima takdir Allah ini yang dipastikan terbaik buat bangsa dan Negara dimata sang pemilik alam semesta ini.

Alangkah indahnya kalo kita semua bisa belajar dari keteladanan sikap dan jiwa para pemimpin negri ini yang hidup di masa awal kemerdekaan, dan sangat berlawanan dengan apa yang dipertontonkan oleh para pemimpin utamanya elit politisi negri ini. Para pemimpin pada saat itu hidup dalam kesederhanaan, kejujuran dan keikhlasan. Meskipun mereka juga manusia biasa yang tidak luput dari alpa, namun kebesaran jiwa yang mereka miliki telah menjadi modal utama dalam membawa negeri ini ke pintu gerbang kemerdekaan.

Ditengah sengitnya perdebatan ideologis dan fikiran, namun kebesaran jiwa mereka telah menghindarkan diri mereka tersemar dari sikap kerdil, pendendam dan pengecut.

Inilah beberapa sikap para pemimpin saat itu antara lain.

  1. Bukan pendendam

Buya Hamka (BH), dijebloskan ke penjara oleh Bung Karno (BK) selama dua tahun empat bulan, karena bersebrangan sikap politik, namun tidak pernah dendam, karena berpendapat bahwa dendam itu termasuk dosa. BH menyikapi nya sebagai anugerah tak terhingga dari Allah sehingga dapat menyelesaikan Kitab Tafsir Al Qur’an 30 Juz. BH dengan khlas menjadi imam shalat jenazah Bung Karno memenuhi wasiat BK, meskipun banyak pihak yang tidak sependapat.

Moch. Natsir (MN) Karena kritik yang tegas bersama kelompok petisi 50, terhadap Orde Baru,   MN dicekal, dan dilarang berkunjung ke luar negeri untuk mengikuti Konferensi Rabithah Alam Islamy, bahkan juga dilarang pada saat menerima Gelar Doktor Kehormatan dari Universiti Kebangsaan Malaysia dan Universiti Sains Pulau pinang. Namun dibalik kritiknya ini, MN senantiasa bersikap santun, dengan selalu hadir dalam acara silaturahmi Idul Fitri di kediaman Soeharto di Cendana, meskipun kehadirannya kerap tidak ditanggapi oleh Soeharto. Secara sadar, MN juga turut membantu pemerintahan Orde Baru untuk kepentingan pemerintah dengan membantu kontak pemerintah Kuwait agar bersedia menanam modal di Indonesia dan meyakinkan pemerintah Jepang tentang kesungguhan Order Baru membangun ekonomi.

  1. Hidup dalam Kesederhanaan

Prawoto Mangkusasmito (PM), Ketua Umum Masyumi, hidup sangat sederhana bahkan tak punya rumah. Atas inisiatif IJ Kasimo, Ketua Umum Partai Katolik Indonesia, melakukan urunan untuk membeli rumah bagi PM.

Bung Hatta, pernah punya mimpi punya sepatu Bally, dan tidak pernah kesampaian sampai beliau wafat meskipun sudah berupaya keras menabung, dan ketika yang mengharukan, ketika beliau wafat, guntingan iklan sepatu Bally tersebut masih tersimpan dengan baik.

  1. Bukan pengecut

Ketika hubungan Soekarno dan Hatta merenggang, beberapa orang pro Soekarno tidak mencantumkan nama Hatta pada teks proklamasi, ditegur keras oleh Soekarno, “Orang boleh benci pada seseorang, Aku kadang2 saling gebuk dengan Hatta, tapi menghilangkan Hatta dari teks proklamasi adalah tindakan pengecut”, ujar Soekarno.

Hari ini kita menentukan apakah bangsa ini mau jadi pemenang atau pengecut, jadi besar atau kerdil, jadi pemaaf atau pendendam, jadi penuh empati atau suka menghakimi, jadi penyebar damai atau penebar fitnah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline