Lihat ke Halaman Asli

Epos Kapitala (1): Raja Wallstriit dan Si Lateung

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Alkisah, suatu kerajaan megah bernama Kapitala. Raja Wallstriit yang termasyhur adalah penguasanya. Kapitala merupakan sebuah kerajaan modal yang menguasai hampir seluruh Bumi. Kekuasaannya terdiri atas ratusan daerah vasal yang dinamakan negara.
Suatu pagi ketika asyik berdendang, Wallstriit dihampiri oleh seorang pegawai baru di kerajaannya. Pegawai tersebut menampakkan wajah cemas. Sebelum dia mulai berbicara, Wallstriit terlebih dahulu menyapa, “Hai Lateung, kenapa kau cemas? Kau sekarang berada di bawah naunganku, Wallstriit penguasa Bumi. Aku menguasai semua perputaran modal di Bumi. Aku adalah raja para investor. Segala trik politik memihak padaku, segala perubahan dunia, berlangsung demi kelanggengan usahaku, kerajaan bisnis Kapitala.”

Lateung semakin gemetar. Ya, namanya Lateung, kebetulan seorang Batak. Di suku Batak, Lateung berarti sejenis buah terung, tapi berarti juga umpatan. Awalnya nama itu memang diberikan oleh orang tuanya karena kebetulan dia lahir di kebun terung, tapi dalam perkembangannya, Lateung diartikan orang-orang sekampungnya sebagai umpatan, karena sifatnya yang penjilat, bahkan pengkhianat.
Lateung dulunya adalah mahasiswa yang aktif menulis di koran-koran. Semangat awalnya ya membela rakyat. Tapi, karena menulis di koran ada uang yang cair, dia jadi terus-terusan menulis. Kedepannya, tetap kesan membela rakyat ditampilkan, tapi orientasi dia sudah duit, duit, dan duit. Bahkan, demi kelancaran duit dari menulis, dia suka membuat tulisan-tulisan yang sebenarnya tidak pro rakyat, dia ikut-ikut saja kepada wacana pemerintah, asalkan tulisannya aman, bisa masuk media dan duitnya cair. Inilah sifat menjilat itu, dan pihak istana sangat suka dengan sifat seperti ini. Makanya dia dipanggil jauh-jauh dari tanah Batak untuk bekerja di istana kerajaan, yang terletak di ibukota kerajaan Kapitala, negara Amelinda Serikat.
“Gawat paduka,” kata Lateung, “Rakyat sudah kembali memarakkan perlawanan. Mereka sudah sadar bahwa negara mereka sesungguhnya tidak independen, melainkan tunduk kepada kerajaan modal Kapitala. Mereka sudah sadar bahwa mereka hanyalah korban dari kepentingan bisnis kerajaan kita.”
Raja menjawab, “Hei Lateung! Kau perhatikan sejarah. Hampir semua revolusi yang terjadi hasilnya malah memihak pada kita. Yang mereka revolusi itu adalah sistem pemerintahan, bukan hegemoni bisnisnya. Kita tak peduli itu, selama bisnis kita aman, kita nyantai aja.”
“Tapi pak,” Sela Lateung.
Raja mengacuhkannya dan kembali bicara, “Lateung! Bahkan, sering revolusi oleh rakyat tersebut merupakan agenda kita. Contoh, negara asalmu, negara Nusa Antara. Pada masa presiden pertama, Soekharnow, kita kehilangan banyak pintu masuk atas bisnis kita ke negaramu. Pemerintahan Soekharnow merupakan tembok penghalang besar bagi kerajaan Kapitala! Tapi kemudian mahasiswa-mahasiswa dengan polosnya mendemo Soekharnow, meruntuhkan rezim Soekharnow, jadilah tembok penghalang itu hancur, dan segera kita menjalin kerjasama yang erat dengan pemerintah baru yang diktator, presiden Siularto. Karena kediktatoran Siularto, kita dengan mudah berhasil membangun basis ekonomi yang kokoh demi kelancaran bisnis kita di seluruh penjuru Nusa Antara.”
Lateung bertanya, “Tapi kan, pada akhirnya rezim itu runtuh di tangan mahasiswa juga kan, paduka?”
“Huahahaha. Dasar bodoh, memang mayoritas kaum menengah di Nusa Antara ya sepertimu, bodoh! Sok-sok berpendirian teguh, disenggol sedikit eh malah jadi penjilat! Huahahaha. Kau tahu, masa Siularto, tak hanya Nusa Antara melainkan hampir semua negara yang hasil alamnya oke, dikuasai oleh diktator. Kita pun girang karena dengan mudah bisa menanami pondasi ekonomi di negara-negara tersebut. Setelah semua basis ekonomi sudah kokoh, maka rezim diktator tak dibutuhkan lagi. Yang kita butuhkan adalah menyatukan semua basis ekonomi itu, menjadi suatu kesatuan besar yang tak terkalahkan, aku menamakan grand design paling mutakhir dari kerajaan Kapitala itu, dengan nama, Pasar Bebas. Huahahaha. Jadilah seluruh Bumi di bawah kekuasaanku! Huahahaha... huahahaha.”
Lateung mengangguk mengerti, lalu berkata, “Jadi paduka, demonstrasi besar-besaran yang meruntuhkan rezim diktator Siularto kemarin, merupakan setelan kerajaan Kapitala? Agar bisnis semakin langgeng dan besar dan juga masif secara global, maka tidak boleh ada pemerintah negara yang diktator. Maka kerajaan Kapitala sengaja memanas-manasi kelas menengah Nusa Antara, terutama para mahasiswa, agar meletuskan revolusi. Agar peluang kebijakan Pasar Bebas semakin terbuka, begitu?”
“Tepat sekali, Lateung! Huahahaha. Revolusi yang sama terjadi hampir di semua negara-negara yang hasil alamnya oke.”
Lateung yang terkejut sekaligus takjub dengan grand design kerajaan Kapitala kembali bertanya, “Mmm, paduka, boleh saya tahu seperti apa basis ekonomi yang dimaksud?”
Raja menjawab, “Negara-negara tersebut punya hasil alam yang melimpah. Kapitala tentu sangat tergiur dengan itu. Maka kita, dengan alasan pembangunan yang sesungguhnya klise, mengajak mereka bekerja sama mengeksploitasi alam tersebut. Padahal kita tidak peduli dengan kemajuan negara, yang penting bisnis kita mengembang, yang penting kita bisa memperoleh bahan mentah dengan harga murah untuk industri kita. Basis ekonomi itu ya berupa utang luar negeri jangka panjang, jadi mereka terikat utang dalam waktu yang lama dengan kita. Lalu, dengan merubah struktur peraturan-peraturan yang berlaku di negara agar semakin berpihak pada pengusaha, caranya ya kita menyogok elit yang berkuasa. Tak apalah buang-buang uang sedikit asal kita bisa mencapai posisi dewa. Juga dengan pendirian perusahaan-perusahaan kita di negara-negara, dan lucunya, huahahaha, lucunya, mereka memuja-muja kita dengan sebutan investor asing! Mereka anggap kita juru selamat atas keterpurukan mereka, mereka tak tahu bahwa kerajaan Kapitala yang dipimpin Wallstriit yang termasyhur, yang kuasa hidupnya setingkat dewa, hidup dari menghisap darah mereka! Huahahaha... Huahaha... Huahaha.”
Lateung, si penjilat, terpelongok terkagum-kagum.
***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline