Lihat ke Halaman Asli

Kenapa Mesti Takut "Istilah" Khilafah?

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jika saya mencermati berbagai polemik yang terjadi antar sesama gerakan Islam dengan berbagai aliran saat ini, dalam beberapa hal sedikit banyak selalu bersenggolan dengan sistem kepemimpinan antara yang menginginkan tegaknya khilafah kembali sekaligus diterapkannya syariat Islam (Tathbiqus syariah al-Islamiyyah) dan antara yang menolaknya mentah-mentah.

Khilafah dan Syariah Islam, dua judul yang seolah menjadi momok bagi sebagian rekan muslim sendiri yang kontra dan sangat tidak setuju dengan didirikannya khilafah. Alasannya adalah menjaga keutuhan NKRI (untuk kasus Indonesia).

Oke, sebuah ketakutan yang menurut saya "wajar" bagi yang belum mengetahui dengan baik dan secara mendalam apa khilafah itu sendiri dan seperti apa tathbiq syariat Islamiyyah.

Hal ini terjadi tentu sebab ketakutan tidak perlu terlebih dahulu dan kekurangtahuan bagaimana khilafah. Terlebih ada yang menyatakan bahwa sistem khilafah mengalami kegagalan. Statemen yang perlu dilempengkan pakai palu biar tidak asal berbunyi, sebab jelas kentara sekali tidak membaca sejarah khilafah (dalam arti bahasa) itu sendiri.

Atau malah tidak tahu apa dan yang mana khilafah itu?

Catatan ini bukan lantas menunjukkan bahwa saya pro khilafah (sekali lagi, "khilafah" yang mana), dan saya juga tidak kontra khilafah. Karena yang terlihat selama ini, pertengkaran terjadi sebab lebih kepada masalah istilah saja, bukan substansi.

Yang mengusung khilafah pun seperti itu, saya lebih menilai para rekan pro "khilafah" baru hanya melihat kulitnya saja, sampulnya. Belum isi dan bagaimana serta yang mana khilafah itu. Merujuk kepada perbedaan definisi khilafah itu sendiri (hal yang sama terjadi pada istilah "Syiah").

Mungkin bisa jadi cara yang diusung oleh rekan pro khilafah kurang tepat, terlebih menganalogikan dengan daulah madinah era Nabi yang sebenarnya tidak bisa dianalogikan sama sekali sebab ia adalah Mamlakatus Samaa' (The Kingdom of Heaven) yang ekselensinya hanya dipunyai pemimpin bertitel Nabi saja.

Begitu juga rekan yang kontra khilafah, ketakutannya lebih kepada "bentuk seram" segala larangan sehingga takut kebebasannya terbelenggu, atau berbagai macam hukuman atas pelanggaran (tanpa melihat maslahatnya). Sebuah pertanyaan, selama 15 abad apakah ada data menyatakan Islam (dengan segala jenis pemerintahannya) merampas kebebasan berekspresi seseorang? bukankan justru banyak sekali invensi yang ditorehkan ummat Islam di berbagai belahan dunia saat berdirinya "pemerintahan" ber-"label" Islam itu kan?

Istilah khilafah sendiri pun juga menimbulkan pertanyaan, khilafah yang mana? Sebab jika merujuk pada sabda Nabi, khilafah hanya sampai pada era Hasan Bin Ali, setelahnya, mulai masa Mu'awiyyah sampai terakhir Sultan Abdul Hamid II statusnya sama sekali tidak bisa dikatakan khilafah, tapi Nabi jelas-jelas menyebutnya sebagai "Muluk", atau para Raja.

Ini jika kita berbicara perihal istilah khilafah. Belum masuk kepada tentang kebebasan berpikir, jadi, andai kita ini mengaku-aku menjunjung kebebasan berpikir, sebagai warga dalam sebuah negara yang katanya berasas demokrasi, maka pemikiran rekan yang menginginkan khilafah adalah masuk wilayah ini. Mengapa kita harus memaksa mereka untuk satu pikiran jika memang di sana ada kebebasan berpikir?

So biarkan siapapun berpikir bebas, NKRI tidak akan mengalami bahaya apapun selama tidak ada usaha makar di sana. Justru pertengkaran tidak perlu semisal meributkan khilafah atau tidak adalah bisa menjadi bibit perpecahan NKRI itu sendiri.

Dan jika ditanya, menurutmu pribadi apa sistem pemerintahan yang cocok? saya jawab sistem yang cocok adalah sistem yang sesuai dengan kondisi dan situasi daerah tersebut, dan selama ketenangan beribadah, berpikir dan hidup sehari-hari kita terjamin oleh sistem itu, maka itulah sistem yang terbaik.

Khilafah, Sekuler, Demokrasi, Kerajaan, dan sejenisnya hanya label jika tidak menyentuh hak pribadi individu warganegara untuk menjalankan keyakinannya masing-masing.

Lagipula Islam terlalu kecil jadinya jika dijadikan label, karena Islam mencakup semua aspek kehidupan. Dan istilah (sekali lagi cuma istilah) negara Islam, ibaratnya hanya sampul, bukan isi. Maka tidak perlulah meributkan sampul.

Contohlah Turki, "Islam"kan dulu orangnya, praktekkan semua ajaran Islam di masyarakatnya, nanti pemerintahannya Islam dengan sendirinya, meski namanya tetap sekuler sekalipun.

Yang penting itu praktek sehari-harinya, bukan labelnya. Masih sih kita beli ikan tuna kalengan yang lantas kita makan adalah kalengnya? Tidak kan? Saatnya menata cara berpikir kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline