Tujuh bulan lamanya rakyat indonesia saling berhadap-hadapan dan bertempur di panggung-panggung diskusi, warung-warung kopi, hingga media-media sosial. Mereka yang militan dari kedua kubu terus menebar ranjau dan perangkap dengan harapan lawannya tumbang.
Semua senjata dikeluarkan demi menjatuhkan lawan, tidak perduli senjata tersebut berdampak buruk atau tidak bagi rakyat, para elit tetap melakukannya. Ketika semua senjata tidak juga mampu menumbangkan lawan, maka ada dari mereka menggunakan "Isu Agama" sebagai senjata. Bagaikan Bom Atom, senjata "Isu Agama" untuk sementara ampuh meluluh-lantahkan sendi-sendi kerukunan dan keberagaman.
Racun kebencian menyebar ke seantero negeri, membabat semua yang dianggap berbeda. Ungkapan "penista agama" yang ditembakan salah satu kubu mampu melabeli lawannya sebagai kubu penista agama. Tidak perduli di dalam kubu tersebut terdapat pula para ahli agamawan dan kerohanian yang mungkin jauh lebih saleh, namun jika bersebrangan dengan mereka maka tetap penista agama.
Kini, setelah tanggal 17 April "peperangan" tersebut pun berakhir. Tanda-tanda kemenangan dan kekalahan dari antara dua kubu pun mulai nampak. Berbeda dengan Bom Atom Nagasaki yang berhasil membawa Amerika Serikat sebagai pemenang, Bom Atom "Isu Agama" tidak mampu membawa kubu yang katanya pembela agama menjadikannya sebagai pemenang.
Memang peperangan belum berakhir seutuhnya, karena masih ada bentrokan-bentokan kecil di sudut-sudut perbatasan. Kubu yang kalah akan terus melakukan perlawanan dengan harapan bisa kembali meraih kemenangan, meski mereka paham hal tersebut sia-sia belaka.
Kenapa Isu Agama tidak berhasil mengantarkan mereka kepada puncak kemenangan. Pertanyaan tersebut mungkin bisa dijawab jika pertanyaan tentang kenapa partai-partai politik berbasis agama seperti PKB, PAN, PPP, PKS, dan PBB tidak pernah keluar sebagai juara dalam setiap pemilu, baik sebelum reformasi maupun pasca reformasi.
Padahal partai-partai tersebut terkenal dengan partai-partai Islam. Dan anehnya yang memenangi setiap pemilu selalu partai-partai nasionalis seperti PNI (1955), GOLKAR (1971-1997), PDIP (1999), GOLKAR (2004), DEMOKRAT (2009), PDIP (2014) dan menurut hasil QC, pemilu hari ini pun akan dimenangi partai nsionalis yaitu PDIP.
Alasannya sederhana bahwa mayoritas umat Islam Indonesia tidak pernah menjadikan ulama sebagai panduan berpolitik. Namun menjadikan ulama sebagai panduan hidup beragama.
Sehingga ketika dua ulama kondang, UAS dan AA Gym memberikan dukungannya kepada kubu yang konon disebut pembela agama, maka tidak serta-merta langsung diikuti oleh para pengikutnya. Karena bagi umat Islam Indonesia ketaatan kepada ulama hanya ada dalam urusan agama bukan politik.
Sejarah menjadi saksi bagaimana seorang KH. Zaenuddin MZ, yang mendapat gelar dai sejuta umat, ditinggalkan pengikutnya hanya karena beliau mendirikan sebuah partai yaitu PBR (Partai Bintang Reformasi). Bintang beliau pun berangsur-angsur redup bersama dengan redupnya partai yang beliau dirikan. Partai Bintang Reformasi tidak pernah benar-benar menjadi bintang yang sesungguhnya. Jangan kan bercahaya, sekedar berkelap-kelip pun tidak. Malah sebaliknya lenyap tanpa jejak sejarah.
Inilah yang membedakan umat Islam di indonesia dengan umat Islam di beberapa negara Islam lainnya. Ulama di indonesia akan dimuliakan dan didengarkan suaranya sejauh menyangkut masalah keagamaan namun ketika sudah menyentuh dinding politik maka banyak yang tidak akan mendengarkannya. Bahkan cenderung meninggalkannya.