Selama kurun waktu 2017, Badan Narkotika Nasional (BNN) berhasil mengungkap kejahatan narkoba sebanyak 46.537 kasus di seluruh wilayah Indonesia dengan jumlah tersangka yang ditangkap adalah 58.365 orang. Dari sejumlah pengungkapan tersebut, beberapa diantaranya melibatkan narapidana yang masih mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Penangkapan narapidana yang diduga tersangkut peredaran narkoba ini bukan hal yang mengejutkan, meski tetap menjadi satu keprihatinan. Apalagi, pada saat bersamaan, jajaran Kementerian Hukum dan HAM (c.q. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan) juga tengah begitu konsen untuk memerangi segala bentuk penyalahgunaan narkoba di dalam Lapas.
Pertanyaannya adalah mengapa narapidana masih bisa melakukan pengendalian narkoba dari dalam Lapas? Apakah petugas Lapas melakukan pembiaran terhadap keterlibatan narapidana dalam peredaran dan penyalahgunaan narkoba?
Dalam kacamata pandang saya yang sederhana, dalam konteks ideal, pengendalian narkoba oleh seorang narapidana adalah satu hal yang seharusnya tidak dapat terjadi.
Mengapa? Narapidana adalah seseorang yang sedang menjalani masa institusionalisasi di dalam Lapas akibat perilaku pidana yang mereka lakukan. Lapas merupakan institusi yang membatasi kebebasan mereka untuk bergerak, berkomunikasi dengan dunia di luar Lapas ataupun melarikan diri.
Oleh karena itu, sejak awal perkembangannya, Lapas selalu identik dengan jeruji, tembok yang tinggi yang dilengkapi dengan kawat berduri. Dalam kondisi yang demikian, Lapas menjadi tempat yang efektif untuk melakukan penutupan; membatasi narapidana berkontak fisik dengan masyarakat di luar Lapas.
Namun seiring perkembangan teknologi, Lapas sepertinya belum secara efektif mampu membatasi komunikasi antara narapidana dengan dunia di luar Lapas.
Lahirnya perangkat teknologi komunikasi menjadikan narapidana mampu menembus tembok Lapas tanpa harus melewati kawat berduri. Mereka cukup memiliki telepon genggam (handphone) dan menggunakannya kapanpun (asal tidak ketahuan petugas) untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat di luar Lapas.
Handphone membuat mereka tidak terasing lagi dari pergaulan masyarakat. Bahkan handphone mampu menjadikan mereka tetap mampu menjalankan aktifitas bisnisnya (baik bisnis yang halal maupun yang haram, seperti bisnis narkoba) dari dalam Lapas. Mereka hanya kehilangan bergerak, tetapi tidak kehilangan akses mereka ke dunia luar Lapas.
Menyikapi kerawanan penggunaan handphone untuk bisnis haram narkoba, tentu tidak dapat dinafikan bahwa jajaran Lapas telah mengambil langkah-langkah antisipasi dan koreksi.
Otoritas Lapas tidak henti-hentinya melakukan penertiban (sweeping) terhadap kepemilikan handphone maupun barang haram narkoba. Puluhan handphone bisa dijaring dalam setiap kegiatan penertiban ini. Bahkan tidak jarang otoritas Lapas mampu menjaring kepemilikan ataupun upaya penyelundupan narkoba ke dalam Lapas.