Lihat ke Halaman Asli

PR Itu Buat Ayah Bukan Aku

Diperbarui: 23 Juli 2018   20:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PR itu buat Ayah bukan Aku Foto:Pixabay.com

"Ayah, PR Itu buat Ayah, bukan buat Aku", celoteh si kecil sambil berusaha menjelaskan kepada ku.  Beda zaman beda generasi, beda pula cara memandangnya.  Si kecilpun lanjut asyik memperhatikan layar youtube berisi tentang cara mengambar boneka kesukaannya. Itulah jawaban si kecil tatkala aku bertanya apakah ada pekerjaan rumah dari sekolah hari ini.

Anak yang terpapar teknologi sejak lahir memang memiliki karakter yang jauh berbeda dengan orang tuanya. Generasi X yang melahirkan generasi Z secara harfiah. Perbedaan 20-30 tahun cukup membuat jarak perbedaan yang sangat besar antara orang tua dengan anak anaknya. 

Orang tua yang tergagap dengan instagram dan tiket online KRL dengan anak anak yang sudah lincah mencari pengetahuan secepat kilat di youtube, dan wikipedia. Menikmati ikan paus dengan video dibandingkan ayahnya yang harus mengkhayal tulisan "paus" menjadi sebuah gambar di dalam kepala sewaktu kecil dahulu.

Masih ingat, puisi Anak-anakmu buah karya dari Khalil Gibral, yang secara jelas mengambarkan peran orang tua dan anak.  Seharusnya kita tidak kaget dengan sebuah perubahan, meskipun terkadang  cukup membuat ketakutan - kekhawatiran yang luar biasa - tentang masa depan. Bisa jadi orang tua kita memiliki kekhawatiran yang sama saat kita semasih kecil -  memperhatikan sang anak yang terpaku di depan televisi berjam-jam. Sambil berceloteh "Mau apa kelak kalau kau besar nanti?".

Sisi lain yang coba menarik adalah tidak ada pekerjaan rumah berarti sang anak tuntas menyelesaikan pekerjaannya. Dia secara maksimal menyelesaikan tugas belajarnya di sekolah. Sebenar, PR itu singkatan pekerjaan rumah. Memang sejak kapan sekolah itu adalah sebuah pekerjaan?

Sekolah adalah tempat belajar, menuntut ilmu, menambah wawasan, dan belajar berinteraksi sosial dengan teman-teman sebaya.  Koq bisa seorang siswa  diberikan pekerjaan? Sejak kapan pula pekerjaan diberikan kepada seorang anak?

Coba perhatikan, pekerjaan yang dibawa pulang itu hanyalah bagi para pekerja yang kehabisan waktu di kantor. Karena luar biasanya beban kerja, sampai ke rumahpun harus bawa pekerjaan. Sebentar, bapak atau ibu bawa pekerjaan kantor ke rumah? Memang waktu di kantor tidak cukup buat mengerjakan pekerjaan itu? Mungkin keasyikan main whatsapp sama teman-teman, barang kali? Atau kebanyakan menekan tombol "backspace" karena salah ketik? Atau keasyikan rapat yang semua sibuk lihat handphone dibandingkan mendiskusikan materi meetingnya.

Nah kan kalau bapak atau ibu saja tidak ingin membawa pekerjaan ke rumah, kenapa si kecil harus pula mendapatkan pekerjaan rumah dari sekolah? Alasannya, biar anak belajar di rumah. Ah, masa? Di rumah itu anak anak kita belajar koq, mulai dari menonton youtube, browsing internet, melihat tv sampai menyusun balok balok lego membentuk rumah mainan barunya. Kapan lagi mereka belajar dengan keinginan tahuan mereka yang luar biasa? Kebayangkan kalau bapak atau ibu di kantor makan nasi rendang dan di rumah makan nasi rendang lagi? Bosan! Kenapa kita tidak membiarkan mereka untuk tumbuh dengan cara belajarnya sendiri.  

Zamannya sudah berubah. Ya, memang sudah berubah. Kapan lagi mendengarkan si kecil tiba tiba nge-rap dengan bahasa korea? Kapan lagi si kecil ceriwis bercerita tenang ikan paus yang melahirkan di dalam laut kepada ayahnya yang pulang kantor? Kapan lagi kita jadi pengamat kebahagiaan mereka mengeksplorasi dunia yang serba cepat. 

Takut? Khawatir? Nanti anak kita kenapa-kenapa? Sebaliknya disitulah seharusnya kita yang takut dengan diri kita. Apakah kita bisa menjadi orang tua yang mampu menanamkan nilai nilai kebaikan di dalam diri seorang anak? Kalau tidak, disitulah rasa takut  sebenarnya ada. Bisakah kita membekali kemampuan memilah yang baik dan yang tidak baik bagi anak anak kita?  Apakah parameter nilai yang diturunkan kepada anak-anak kita? Kapan dia harus menghindari hal yang tidak penting buat hidupnya? Kapan dia harus memutuskan mandi saat sore? Kapan dia harus tidur karena besok harus sekolah?  

Kembali lagi,  "PR itu buat Ayah saja, bukan untuk aku", mengutip kata si kecil. Anak anak kita sudah terbang melesat seperti sebuah anak panah dari busur yang kuat menembus cita-cita mereka dalam garis waktu. Apakah kita sudah menjadi busur yang kuat buat menitipkan nilai nilai baik di setiap anak panah yang dilepaskan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline