Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Jokowi Cepat Deklarasikan Kemenangan

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Tulisan ini bersumber dari komentar yang saya buat

Pada tanggal 9 Juli, sekitar pukul 14.00 WIB, Jokowi dan kawan-kawan sudah mendeklarasikan kemenangannya berdasarkan hasil Quick Count yang mereka lihat. Pada saat itu saya merasa heran, mengapa sudah ada pendeklarasian sebelum Prabowo mengaku kalah? Saya memang lihat angka perolehan sudah konsisten dengan kemenangan Jokowi. Tetapi, ada apa gerangan?

Kita kembali ke Quick Count. Mengapa saat angka suara masuk 80% Jokowi sudah mendeklarasikan kemenangannya? Karena secara statistik Prabowo sudah tidak mungkin lagi mengejar ketinggalannya. Misalnnya angka sudah masuk 80%, dan posisi Jokowi sudah ada di 52,5% dan Prabowo 47,5%.

Ini artinya, supaya Prabowo bisa mencapai angka 50% atau seri, maka masukan angka suara berikutnya haruslah 40% Jokowi dan 60% Prabowo. Contohnya: ada 1000 data. Saat 800 data sudah dihitung, hasilnya A adalah 52,5% dan B 47,5%. Artinya dari 800 data yang dihitung, A mendapat 420 dan B mendapat 380.

Supaya hasil akhirnya sama-sama 500, maka dalam penghitungan 200 data berikutnya, A harus hanya mendapat 80 dan B harus mendapat 120. Berarti persentasi suara A di 20% data berikutnya harus 80/(200) = 0,4 = 40% sementara persentasi suara B di 20% data berikutnya harus 120/(200).

Nah, pertanyaannya, seberapa mungkin 20% data berikut bisa menjadi 40% Jokowi dan 60% Prabowo? Bisa dilihat dari sisa daerah yang melapor. Apakah seluruh 20% data yang tersisa benar-benar lumbung suara Prabowo yang sudah terbukti secara statistik, misalnya semua sisa suara hanya dari Sumatra Barat atau Jabar atau Banten. Kalau ternyata data yang tersisa tersebar merata, dan selama ini penghasilan konsisten di 52.5% untuk Jokowi, maka secara statistik hampir mustahil untuk Prabowo mengejar ketinggalannya. Ini hanyalah realita matematika.

Selain itu, mungkin ada pertimbangan politik. Di pemilihan demokrasi yang normal, yang kalah, apalagi secara statistik signifikan kalahnya (berlipat-lipat dari margin of error) seharusnya legowo mengontak lawannya untuk mengakui kekalahan, dan memberitakan kekalahannya sendiri kepada pendukungnya sebelum yang menang mendeklarasikan kemenangannya. Tetapi, apa yang terjadi saat ada hasil perhitungan Quick Count yang berbeda di media lain? Inilah yang berbeda kali ini. Ilustrasi diatas mengandaikan persetujuan antar seluruh lembaga survei. Tetapi tidak demikian kenyataannya.

Saya bayangkan saat kubu Jokowi melihat hasil kemenangan mereka, ada yang melaporkan bahwa media pendukung Prabowo malah mengeluarkan data yang bertolak belakang. Mungkin indikasi saat itu sudah jelas bahwa pihak Prabowo sudah akan mengacuhkan hasil quick count yang bukan dikontrak dari media pendukung mereka sendiri.

Jadi, dengan tangan terikat, mereka harus mendeklarasikan kemenangan sebelum ada yang mengakui kekalahan. Apa yang bapak Mahfud katakan benar, bahwa ini adalah psy-war (perang psikologis). Tetapi yang tidak dikatakan adalah mereka harus melakukan ini karena mereka menyadari serangan yang akan dilakukan oleh kubu Prabowo. Dalam istilah asing: Preemptive strike.

Saya hanya bisa berharap pada pemilihan selanjutnya, pemilu ini bisa menjadi pembelajaran untuk apa yang tidak seharusnya dilakukan.

Baca juga:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline