Lihat ke Halaman Asli

Saya Pemuda dan Saya (Tidak) Tertarik Bertani

Diperbarui: 24 September 2016   01:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto: Antara

Sebuah permenungan antara masa lalu dan masa yang akan datang. Tentang urusan perut dan gengsi.

Sebagai seorang anak petani. Mendengar kata ‘tani’ saja sudah tidak asing lagi di telinga. Apa lagi sejak di bangku sekolah saya juga sering diajarkan kalau Indonesia adalah negeri agraris. Orang-orang di kampong saya juga mayoritas petani. Walau curah hujan di sana rendah, namun kehidupan kami sangat bergantung pada hasil tani.

Menulis artikel ini, seakan melempar saya kembali ke masa kanak-kanak saya. Saat kedua orang tua saya masi kuat. Saat ladang kami masi digarap. Beragam tanaman palawija ditanam di sana. Ada jagung yang jadi tanaman mayoritas, labu kuning, singkong, dan kadang ditanam kacang hijau. Agar hasil yang diperoleh memuaskan. Bapak harus bekerja begitu keras di bawah terik matahari. Masi juga teringat, Bapak yang pergi pagi-pagi betul saat saya belum berangkat ke sekolah dengan sepedanya. Biasanya dia hanya membawa bekal seadanya. Kadang juga menginap di ladang. Menjaga tanaman, agar tidak diganggu rusa dan babi hutan.

Mengingat masa-masa seperti itu kadang membuat saya ngiler. Membayangkan betapa indahnya berkebun. Ladang yang hijau dan luas. Barisan tanaman jagung dan singkong yang berselingan. Nikmatnya jagung bakar dan singkong rebus. Hayalan yang begitu nikmat membawa saya semakin jauh. Seorang diri berdiri di tengah ladang yang luas. 

Ditemani hijaunya barisan jagung yang siap panen. Bunga-bunga kacang tanah yang bermekara. Tak ketinggalan, buah labu kuning berhamburan di atas tanah. Berapa lumbungkah yang harus saya siapkan untuk menampung semua ini?. Betapa bangganya saya dengan hasil panennya nanti.

Hangatnya kopi yang saya seruput mengagetkan saya. Membangunkan saya dari hayalan liar itu. Sekarang saya adalah MAHASISWA. Kelak saat serjana nanti saya akan mencari perusahaan besar yang mau mempekerjakan saya. Cukup berpenampilan menarik dan duduk di depan layar computer. Ruangan yang sejuk karena AC yang terus menyalah. Tangan saya tak perlu menyentuh cangkul atau sabit. Cukup keyboard saja.

Kalau saya menjadi petani. Apa kata kaluarga, tetangga, dan teman-teman saya?. Masa serjana kok mau-maunya pegang cangkul. Apa lagi bila terkena paparan sinar matahari langsung. Bagaimana dengan kulit saya yang terawat ini?. Mungkin status saya sebagai cowok dengan kulit mulus akan tercoreng. Mungkin juga tidak ada cewek cakep yang mau menikah dengan saya. Hmm…

Tetapi bertani tetap saya masukan sebagai salah satu profesi yang akan saya geluti nanti saat selesai kuliah. Walau dia berada di urutan paling akhir. Saat saya tidak punya duit buat sogok si pemberi kerja, atau tidak ada sobat kenalan dan keluarga yang jadi “orang dalam”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline