Lihat ke Halaman Asli

"The Killing (Field) Street?"

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Ladang pembantaian itu bernama jalan. Siklus ritual itu berulang kembali. Atas nama prosesi agama, kecelakaan di jalanan memuncak. Kecelakaan yangmenimpa para pemudik lebaran yang lalu, menelan korban lebih dari 800 jiwa, boleh jadi merupakan epidemi! Pada keadaan normal, bisa dipastikan kematian karena kecelakaan kendaraan bermotor tidak sebanyak korban tewas selama arus mudik maupun arus balik lebaran.

Epidemi bisa diartikan sebagai terjadinya kasus-kasus dengan sifat-sifat yang sama pada sekelompok manusia, pada suatu area geografis tertentu dengan efek yang nyata pada masyarakat tersebut melebihi dari kejadian kasus-kasus yang normal.

Seberapa pun jumlah korban, tidaklah menjadi penting, hanyalah sebuah hitung-hitungan statistik belaka. Tertutup oleh hingar-bingar ritual agama yang akbar, sehingga masalah besar yang sesungguhnya memiriskan, lewat begitu saja, seolah-olah semua pihak memaafkan kesalahan besar itu.

Coba bandingkan jika epidemi yang terjadi menimpa penduduk berkaitan dengan flu burung, HIV/AIDS, demam berdarah, tuberkulosis, difteri maupun penyakit-penyakit menular lainnya. Berbagai upaya dalam bentuk program penanggulangan penyakit digulirkan dengan berbagai cara. Belum lagi dari sisi dana yang digelontorkan, baik dari pemerintah maupun dana dari negara-negara donor. Jangan ada yang mati karena epidemi penyakit-penyakit menular, tetapi lebih dari 800 jiwa melayang percuma di jalanan dalam rentang waktu yang begitu pendek, hanya beberapa hari menjelang dan setelah lebaran.

Berdasarkan data dari National Traffic Management Control (NTMC) Korlantas Kepolisian Negara Republik Indonesia (2011), bahwa moda transportasi yang terlibat dalam kecelakaan sebagian besar didominasi oleh sepeda motor (70,38%). Artinya, kecelakaan yang terjadi sebagian besar pada pemudik adalah pengguna moda transportasi sepeda motor.

Sementara faktor penyebab kecelakaan sebagian besar karena faktor perilaku manusia, yaitu sebagian besar mengantuk (26,06%), kemudian disusul kelalaian lainnya seperti, melanggar marka jalan, melebihi batas kecepatan, menggunakan telepon seluler, melanggar rambu-rambu lalu lintas, sakit, bahkan mabuk. Sedangkan faktor di luar perilaku manusia sebagian besar karena kelaikan jalan (9,10%), selanjutnya karena alat lampu pengatur lalu lintas, faktor alam, maupun perlintasan kereta api (Kompas, 02/09/11).

Sepeda motor menjadi penyebab utama kemacetan lalu lintas. Terbukti, jumlah sepeda motor di Indonesia sudah mencapai 75 persen dari total seluruh kendaraan bermesin, termasuk roda empat dan angkutan umum. Padahal, idealnya hanya 20 persen di antara seluruh moda kendaraan bermotor. Sementara kontribusi gas buang kendaraan bermotor sebagai sumber polusi udara mencapai 60-70 persen di kota-kota besar.Penggunaan BBM (Bahan Bakar Minyak) bensin dalam motor bakar akan selalu mengeluarkan senyawa-senyawa seperti CO (karbon monoksida), THC (total hidro karbon), TSP (debu), NOx (oksida-oksida nitrogen) dan SOx (oksida-oksida sulfur). Premium yang dibubuhi TEL, akan mengeluarkan timbal. Solar dalam motor diesel akan mengeluarkan beberapa senyawa tambahan di samping senyawa tersebut di atas, yang terutama adalah fraksi-fraksi organik seperti aldehida, PAH (Poli Alifatik Hidrokarbon), yang mempunyai dampak kesehatan yang lebih besar (karsinogenik), dibandingkan dengan senyawa-senyawa lain (Avina Anin Nasia, 2011).

Perlu dilakukan kajian, apakah tingkat kepemilikan sepeda motor penduduk memang sudah sangat perlu dibatasi atau justru masih kurang dibandingkan dengan jumlah penduduk yang membutuhkan? Pembatasan pemilikan sepeda motor oleh otoritas yang berwenang mungkin sudah sangat mendesak untuk segera dilakukan. Hampir setiap keluarga dipastikan memiliki lebih dari satu unit sepeda motor. Hal ini dipicu oleh mudahnya dalam proses pembelian sepeda motor oleh para produsen sehingga mendorong masyarakat untuk menggunakan kemudahan-kemudahan dalam memperoleh sepeda motor.

Pembatasan kepemilikan sepeda motor ini memang mempunyai konsekuensi yang tidak mudah bagi pemerintah, yaitu perlunya menyediakan moda transportasi publik yang nyaman, murah sekaligus berkelanjutan. Jika ini terjadi, akan terbuka lagi lapangan kerja di sektor transportasi. Kita tahu bahwa sejak masyarakat menggunakan sepeda motor dalam berbagai aktifitas, maka terjadi kecenderungan penurunan pengguna moda transportasi publik seperti bus maupun yang lainnya.

Tetapi, jika memang industri sepeda motor masih sangat potensial sebagai pendapatan negara, langkah yang mesti dilakukan pemerintah dalam menekan angka kecelakaan adalah dengan memperketat kepemilikan, juga dibarengi dengan sanksi yang sangat berat terhadap para pengendara sepeda motor yang bermasalah. Di samping itu, perbaikan sarana dan prasarana, seperti jalan menjadi perhatian yang utama.

Apakah epidemi sepeda motor sebenarnya sudah terjadi di Indonesia, memang masih dipertanyakan. Pengabaian pemerintah terhadap keselamatan rakyatnya, ditunjang dengan masyarakat yang apatis dalam memenuhi keselamatan diri sendiri, seharusnya segera kita sudahi. Kita selalu menghubungkan kepemilikan sepeda motor berbanding lurus dengan kemakmuran masyarakat. Tetapi, bukan berarti kita binasa karenanya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline