Lihat ke Halaman Asli

Berdamai dengan Narkotika?

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari Anti Narkotika Internasional yang diperingati 26 Juni 2011 yang lalu, di Indonesia ditandai dengan kontroversi pernyataan Patrialis Akbar - Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkumham), menyatakan bahwa bagi pemakai atau pecandu narkotika jenis shabu-shabu sebanyak satu gram tidak dikenai hukuman pidana apabila baru pertama kali kedapatan, serta hanya sebagai pemakai atau pecandu bukan pengedar (Investasi Daily Indonesia, 09/05/11). Berbagai tanggapan pro dan kontra menyeruak seiring mulai diperkenalkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.

Pergeseran paradigma penanganan ketergantungan narkotika pada akhirnya dimungkinkan terjadi. Kriminalisasi terhadap para pemakai atau pengguna narkotika yang selama ini terjadi, akan ditoleransi. Padahal, ketergantungan pada narkotika meningkatkan kemungkinan para pemakai atau pengguna dengan kemampuan ekonomi yang terbatas, untuk berpaling kepada tindak kejahatan kriminal dalam membiayai kebutuhan mereka akan narkotika.

Tetapi, mengingat sebagian besar kasus dalam kategori pemakai atau pecandu merupakan korban yang jika dilihat dari aspek kesehatan, mereka sesungguhnya sedang menderita sakit. Sehingga layak bila segera mendapatkan layanan kesehatan, bukan justru memenjarakan mereka. Dengan demikian akan memberikan kepada mereka kesempatan untuk memperoleh perawatan dan pengobatan. Sekali lagi, stigmatisasi dan marginalisasi akan menjadikan mereka sulit dijangkau, bahkan merasa terbuang dalam keterasingan dan ketakutan. Mereka membutuhkan dukungan dan pelayanan.

Sebenarnya jauh sebelum aturan ini diterapkan, sudah ada upaya-upaya penanganan terhadap pemakai atau pengguna narkotika tidak lagi melalui pendekatan kriminalisasi. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi yang ditujukan kepada Para Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Negeri.

Memenjarakan pemakai atau pengguna narkotika bukanlah langkah yang tepat karena mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan, karena mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit. Di samping itu, kondisi Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) pada saat ini tidak mendukung, karena dampak negatif keterpengaruhan oleh perilaku kriminal lainnya dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan, kesehatan yang diderita para narapidana narkotika dan psikotropika akan justru semakin berat.

Surat edaran tersebut juga mengatur, jika pemakai atau pengguna tertangkap tangan dan ditemukan barang bukti satu kali pakai, misalnya, heroin/putauw maksimal 0,15 gram, kokain (0,15 gram), morphin (0,15 gram), ganja (satu linting rokok dan/atau 0,05 gram), ekstacy (satu butir/tablet), shabu (0,25 gram), dan lain-lain termasuk dalam narkotika golongan I sampai dengan III dan psikotropika golongan I sampai dengan IV. Juga tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan merangkap menjadi pengedar/produsen gelap narkoba, serta syarat-syarat lainnya.

Di sisi lain, ketika penggunaan narkotika dianggap merupakan tindakan kriminal dan diancam dengan hukuman, maka “barang haram” akan sulit diperoleh, sehingga dengan dalih penghematan (secara ekonomis lebih murah) mereka akan menggunakan alat suntik secara kolektif untuk mendapatkan efek yang maksimal bila dibandingkan dengan cara lain, seperti dibakar dan di hisap asapnya, yang tentu saja secara ekonomis lebih mahal. Padahal, risiko menyuntik lebih besar bagi penyebaran Human Immunodeficiency Virus (HIV). Masalah lain dari akibat kriminalisasi adalah sulitnya para sukarelawan dalam penjangkauan terhadap para pemakai atau pecandu yang hanya sebagai korban narkotika.

Di setiap kabupaten/kota sudah selayaknya diintegrasikan program penanggulangan narkotika di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) maupun rumah sakit tertentu yang sudah dipersiapkan dengan matang, seperti pengurangan dampak buruk (harm reduction) atau penyuntikan yang aman maupun memberikan kemungkinan substitusi terhadap jenis narkotika yang telah direkomendasikan ke arah penyembuhan. Program terapi rumatan metadon telah dilaksanakan di beberapa institusi pelayanan kesehatan untuk mengobati para pemakai atau pecandu narkotika. Juga harus ada jejaring yang kuat dengan Klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT) yang khusus menangani HIV. Mengingat semakin meningkatnya para pemakai atau pengguna narkotika dengan jarum suntik yang tertular HIV.

Memang bukan perkara yang mudah dalam merubah persepsi masyarakat, bahkan untuk menyamakan persepsi antara kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan maupun institusi kesehatan dan para sukarelawan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), bahwa pemakai atau pengguna narkotika sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit, yang harus menjalani pengobatan. Bukan lalu dikrimininalisasi. Sebagian orang mungkin menganggap aturan ini agak “longgar” bahkan ada kesan “berdamai dengan narkotika?”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline