Menjaga keluarga yang sehat agar tidak menjadi sakit, sungguh merupakan upaya yang sangat sulit dilakukan. Menjadi keluarga yang sehat diharapkan mampu memberikan kontribusi yang positif untuk bangsa dan negara.
Tetapi apa yang sebenarnya terjadi terhadap keluarga sehat, terutama yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan? Belum jelas benar program pemerintah yang menangani keluarga sehat ini agar tetap bugar. Justru sebaliknya, program yang ada lebih kental bagi keluarga yang sakit, sehingga lebih condong ke arah pengobatan (kuratif).
Sekedar ilustrasi, jelas-jelas air susu ibu (ASI) eksklusif sangat bermanfaat bagi bayi baru lahir, justru harus dicekoki dengan susu sapi (baca: susu formula). Hanya karena ulah “segelintir” tenaga kesehatan dan institusi pelayanan kesehatan, dengan motif ekonomi, berkonspirasi dengan produsen susu formula, menggiring para ibu menyusui untuk mengganti ASI dengan susu sapi.
Hilangnya pasal tembakau, menjadi contoh betapa sulitnya melindungi keluarga sehat agar tetap sehat terbebas dari asap rokok. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menjadi sangat kontroversial ketika dalam pembahasannya terdapat pasal mengenai tembakau yang begitu saja dengan entengnya dihilangkan. Sebuah kerja kolektif tanpa rasa tanggungjawab yang sangat menyakitkan. Hanya mementingkan sektor ekonomi belaka. Padahal tolok ukur program PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat) yang salah satu indikatornya adalah suatu keluarga harus bebas dari asap rokok. Belum lagi adanya imbal balik dari pihak para produsen rokok kepada pemerintah yang dimanifestasikan ke dalam bantuan yang disebut sebagai pengembalian cukai rokok, untuk membangun fasilitas kesehatan bagi masyarakat yang menderita penyakit akibat rokok. Sebuah paradoks yang sungguh menggelikan.
Saat ini, keluarga sehat pun terancam menjadi keluarga sakit. Keluarga sehat sebagai investasi bangsa, boleh jadi akan menjadi beban negara, jika tanpa upaya mempertahankannya. Berapa banyak sudah keluarga sehat akhirnya mengidap HIV (Human Immunodeficiency Virus) atau penyakit lainnya. HIV telah dengan leluasa masuk ke dalam relung-relung keluarga sehat yang baik-baik, menulari para ibu rumahtangga, bayi, dan balita. Ketidaktahuan menjadi penyebabnya. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa, hanya sebesar 44,4% penduduk sudah pernah mendengar tentang HIV/AIDS. Sementara hanya sebesar 13,9% di antaranya berpengetahuan benar tentang penularan HIV/AIDS dan hanya sebesar 49,3% berpengetahuan benar tentang pencegahan HIV/AIDS. Tingkat pengetahuan yang rendah terhadap berbagai masalah kesehatan, memungkinkan keluarga yang justru sehat terpuruk pada keadaan menjadi keluarga yang sakit. Banyak contoh lain, yang menunjukkan bahwa, memang keluarga sehat sebenarnya justru menjadi sangat rentan terhadap berbagai macam penyakit.
Sebenarnya subsidi pemerintah melalui bantuan operasional kesehatan (BOK) di puskesmas, memungkinkan untuk mengintervensi keluarga sehat dalam memperoleh upaya-upaya promosi (promotif) dan pencegahan (preventif). Walaupun subsidi tersebut tentu saja tidak sebanding dengan upaya-upaya pengobatan (kuratif) dalam bentuk jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat).
Sudah saatnya pemerintah dalam menangani masalah kesehatan segera merubah “paradigma sakit” menjadi “paradigma sehat”. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat yang sehat lebih banyak dibandingkan dengan yang sakit. Jadi justru sebenarnya sangat penting melindungi masyarakat yang sehat agar tidak menjadi sakit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H