foto dari www.designenterprise.com
Fungsi utama pakaian adalah untuk menutupi sesuatu yang tidak boleh dibuka dari tubuh manusia (aurat) kecuali dalam keadaan dharurat. Di samping sebagai penutup aurat, pakain juga mempunyai fungsi sekunder sebagai hiasan bagi tubuh manusia. Oleh karena itu, Islam sangat perhatian sekali dengan masalah pakaian dan dua fungsinya tadi, terutama fungsi yang primer.
Jika kita perhatikan di dalam kitab kitab klasik Islam, maka kita akan memahami betapa eratnya hubungan antara pakaian dengan iteraksi kita sehari hari, baik interaksi vertikal dengan Tuhan (ibadah) atau interaksi horizontal dengan sesama manusia (mu'amalah). Di dalam ibadah, pakaian bisa menentukan sah atau tidaknya ibadah kita, dan dalam mu'amalah, pakaian bisa menentukan bagus atau tidaknya kesan, penilaian dan reaksi khalayak di sekitar kita.
Emha Ainun Najib pernah menegaskan dalam sebuah renungan ilir-ilirnya, bahwa pakaian adalah akhlaq (moral), dan pakaian adalah sesuatu yang menjadikan manusia bukan binatang. "kalau engkau tidak percaya, berdirilah engkau di depan pasar dan copotlah pakaianmu, maka engkau akan kehilangan segala macam harkatmu sebagai manusia", lanjut Emha memperkuat pendapatnya. Pakaianlah yang membuat manusia bernama 'manusia'. Pakaian adalah pegangan nilai, landasan moral dan sistem nilai.
Apakan Islam membatasi umatnya dalam berpakaian?
Sebenarnya Islam tidak pernah menentukan pakaian yang khas untuk umatnya, kecuali ketika dalam dua keadaan, yaitu ketika haji (ihram) dan ketika telah meninggal dunia (hendak dikubur dan seterusnya). Selain dua keadaan tersebut, umat Islam bebas memakain pakaian apa saja, baik memakai gamis, kemeja, sarung, celana dll., dengan catatan pakaian tersebut bisa menutupi aurat dan sopan.
Berpakaian tapi telanjang
Kedengarannya istilah ini aneh. Sebab berpakaian dan telanjang adalah sesuatu yang berlawanan yang tidak mungkin disatukan. Tetapi istilah tersebut penulis maksudkan kepada seseorang yang memakai pakain minim,hingga auratnya masih terbuka dan seseorang yang mengenakan pakaian yang ketat hingga bentuk dan lekuk tubuhnya kelihatan. Mengapa demikian? Karena, dengan memakai pakaian seperti itu bisa menimbulkan indikasi negatif di benak orang yang memandangnya, seperti halnya jika ia memandang seseorang yang tidak berpakaian (telanjang).
Ironisnya, hal tersebut merembet sampai di kalangan orang orang yang berpendidikan agama tidak rendah, seperti santri dan alumni pesantren. Bahkan hingga sebagian ustadz/ah pun ikut terjebak dalam hal seperti ini. Mereka berkerudung, tetapi mereka mengenakan kaos ketat dan celana levis atau pencil yang ketat pula dengan landasan polemik polemik masyhur yang menjustifikasi berpakaian seperti itu, seperti 'gaul', 'mengikuti perkembangan zaman', 'kebebasan' dan lain sebagainya.
Mereka berusaha menelanjangimu
Syaikhuna Dr. M. Said Ramadhan al-Bhuti dalam kitab Fiqh Sirahnya menukil sebuah kisah dari kitab Sirah Ibn Hisyam, bahwa seorang wanita muslimah Arab datang membawa perhiasannya ke tempat perdagangan Yahudi Bani Qainuqa‘. Ia mendatangi seorang tukang sepuh untuk menyepuhkan perhiasannya. Ia kemudian duduk menunggu sampai tukang sepuh Yahudi itumenyelesaikan pekerjaannya. Tiba-tiba datanglah beberapa orang Yahudi berkerumun mengelilinginya dan minta kepada wanita Arab itu untuk membuka penutup mukanya, secara diam diam si tukang sepuh itu menyangkutkan ujung pakaiannya yang menutup seluruh tubuhnya pada bagian punggungnya.