Lihat ke Halaman Asli

Adikku Melanggar Hukum

Diperbarui: 16 November 2015   08:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Adikku melanggar hukum
Aku yang menjadi saksi
Ayahku yang menjadi Hakim
Pamanku Penuntut Umum
Walaupun Ibu gigih membela yang salah diputus salah

Ya, itulah sepenggal syair lagu Qasidah yang populer pada akhir tahun 80-an yang artinya sudah tiga puluh tahun lebih syair itu mengudara. Anggaplah di tahun-tahun itu ia dilahirkan maka saat ini ia sudah dewasa dan sedang menapaki usia produktif-produktifnya. Jadi kata kuncinya adalah dewasa dan produktif dan sebagai sebuah spirit dan norma, penggalan syair di atas akan selalu relevan di setiap zaman.

Saat ini kondisi dunia hukum kita nampak sangat jauh dari harapan para pencari keadilan. Hiruk pikuknya semakin jauh dari spirit dan norma syair lagu di atas. Indikasi dari keadaan ini adalah banyak hakim yang diadukan ke Komisi Yudisial oleh pihak-pihak yang berperkara di pengadilan, laporan ke Prorvost di Kepolisian/Kejaksaan dan laporan ke Ombudsmen.

Memang hakim tidak berdiri sendiri karena hakim menilai perkara dan membuat putusan berdasarkan BAP yang diproses atau dibuat oleh Kepolisian dengan supervise oleh Kejaksaan untuk dilimpahkan ke pengadilan, juga berdasarkan fakta hukum di persidangan. Jadi clear, dari proses pelaporan perkara sampai dengan putusan perkara dari Hakim melibatkan tiga pihak yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.

Kalau kita menengok ke belakang salah satu yang menjadi korban proses peradilan adalah Sengon Karta, yang di kemudian hari ditemukan pelaku pembunuhan yang sebenarnya. Rehabilitasi yang tidak memadai terhadapnya ditampah waktu, tenaga, kesempatan, penderitaan yang dialaminya selama proses peradilan dan menjalani hukuman. Siapa yang bertanggung jawab ?. Itu hanya sebagian kecil dari banyak peristiwa korban kriminalisasi dan ketidaktepatan dari penerapan hukum.

Tidak salah muncul ungkapan di tengah-tengah masyarakat, “Hukum tumpul ke atas namun tajam ke bawah” dan anekdot soal KUHP, bukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi “Kasih Uang Habis Perkara”. Ataupun tidak habis perkara, tetapi pengenaan pasal dan tuntutannya dicarikan pasal yang paling minimal dan bisa juga perkara dibiaskan sehingga sulit dibuktikan pada waktu sidang.

Sebagai bahan renungan, sejenak kita merefleksi diri dengan ungkapan sosok teladan manusia yang oleh Michael H Hart (keturunan Yahudi) di posisikan pada The Top and Most Leader 100 tokoh yang paling berpengaruh di dunia, Muhammad: “Jika Fatimah anakku mencuri niscaya akan aku potong tangannya”, (Al Hadist).

Sejak enam belas abad yang silam di dalam The Holy Book Quran juga telah diingatkan: “Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan” (Al Qamar: 52) dan “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan” (Yasiin: 65).

Pada saat itulah tidak ada lagi rekayasa kasus atau kriminalisasi dan persidangan perkara dari kasus-kasus yang direkayasa. Dan bagi yang merekayasa kasus yang berujung pada pengadilan sesat maka, sudah jelas peringatan dari Sang Maha Perkasa dan Maha Hebat tiada satupun yang menandingi-Nya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline