Adakah hubungannya antara kegiatan atau kesukaan menulis dengan watak ataupun karakter seseorang? Seorang teman psikologi menyampaikan pendapatnya kepada saya bahwa orang yang suka menulis itu cenderung menghindari percakapan langsung dalam menyampaikan pikiran dan perasaannya.
Orang yang menghindari komunikasi melalui kontak langsung merupakan ciri-ciri orang yang pemalu, tidak percaya diri, minder, selalu ingin di belakang layar, dsb. Demikian pendapat seorang teman tadi (tidak perlu saya sebutkan siapa).
Dalam terminologi psikologi mungkin ada benarnya. Saya pernah bertanya (lagi-lagi kepada peserta pelatihan). Mengapa menulis dan tidak berbicara? Atau, mengapa menyampaikan langsung dan tidak melalui tulisan saja? Pertanyaan ini saya tujukan acak. Beberapa masih terlihat bingung untuk menjawabnya (karena mungkin tidak semua kasus bisa disamaratakan).
Saya tanya lebih praksis... "Bagi yang laki-laki, menurut Anda mana yang lebih mudah, menyampaikan isi hati kepada seorang wanita yang diidamkan, dengan berbicara langsung atau melalui tulisan?" Sebagian mengatakan lebih suka berkata langsung dan sebagian melalui tulisan.
Mereka yang suka menulis berargumen jika melalui sebuah tulisan maka kesannya lebih romantis, lebih santun dan lebih bisa dipersiapkan secara matang. “Orang mau menikah saja kan pakai acara tembung (melamar, red) dan itu biasanya diwakili kerabat, bukan oleh kita yang mau menikah. Tulisan itu juga bisa diibaratkan wakil dari isi hati kita,” kata seorang mahasiswa.
Alasan yang masuk diakal. Saya hanya menyampaikan, memang kebiasaan orang itu berbeda-beda dalam menggunakan media komunikasi. Ada orang yang sangat pintar berbicara tapi tidak mampu menuliskannya, sebaliknya ada yang suka menulis namun terbata-bata saat diminta untuk berkata-kata langsung (apalagi di depan orang banyak).
Orang yang suka berkata-kata (dalam dunia jurnalistik) lebih tepat ke broadcast media elektronik tv sebagai presenter berita ataupun reporter lapangan. Atau juga di radio yang lebih mengandalkan cuap-cuapnya. Atau menjadi host/MC (pembawa acara). Sementara yang hobi menulis bisa memilih media cetak, koran, tabloid, majalah bahkan penulis buku. Bagi mereka yang terbiasa dan profesional, pekerjaan adalah suatu kewajiban yang harus dijalankan meskipun bertentangan dengan watak dan karakter mereka.
Jika masalahnya adalah soal kebiasaan, apakah tidak bisa dirubah? Tentu saja bisa, melalui pelatihan terus-menerus. Yang tidak bisa bicara di depan publik kemudian menjadi terampil karena latihan berbicara di depan cermin, misalnya. Orang yang tidak mampu menulis akan semakin terbiasa menulis karena latihan. Sama seperti saat kita tidak terbiasa menyetir mobil atau mengendarai sepeda motor.
Memang, mungkin saja ada beberapa orang yang memilih medianya dalam berkomunikasi karena disesuaikan dengan kepribadiannya. Lebih suka menulis karena tidak suka banyak bicara. Menganggap tulisan lebih bisa dicerna perlahan dan berulang-ulang, tidak reaksioner. Ada dokumentasinya dan bisa disimpan. Sebaliknya, orang yang suka ceplas ceplosmenganggap berbicara lebih nyaman dan bisa menebak langsung isi hati dan gestur lawan bicara.
Namun ada juga memilih media komunikasi itu karena kondisional dan situasional. Berpidato atau memberi sambutan di hadapan orang banyak, misalnya, karena takut salah-salah kata dan kemudian bisa demam panggung maka orang lebih memilih membaca teks yang sudah ia persiapkan sebelumnya. Di media online seperti facebook, tentu lebih memungkinkan menulis, dan sebagainya.
So, seorang penulis belum tentu berwatak pemalu ataupun tidak percaya diri di hadapan publik. Justru seorang penuis itu memiliki kepercayaan diri yang tinggi, berani mempertanggungjawabkan tulisannya, tertantang untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya, selalu cerewet atau memiliki insting bertanya yang tinggi, mampu memilah dan memilih mana sumber yang benar dan mana yang tidak benar, serta memaparkan hasil observasinya secara runtut dan sistematis.