Lihat ke Halaman Asli

Pilih Mana, Nilai Bagus tapi Cengeng atau Nilai Biasa tapi Mandiri?

Diperbarui: 15 Januari 2017   22:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebut saja ada dua karakter anak. Yang seorang berprestasi biasa dalam pelajarannya namun mampu mengelola diri di saat menghadapi masalah yang menimpanya. Seorang lagi yang sangat berprestasi di bidang akademik namun tidak mampu mengatasi setiap masalah yang dihadapinya. Banyak orang tua lebih memilih anaknya dengan karakter kedua, kenapa?

  • Bisa dibanggakan. Meski kadang tidak mandiri, anak yang pintar dan berprestasi di sekolah bisa dibanggakan orangtuanya, memiliki nilai plus dan senang mendapat pujian dari orangtua lain. Sementara anak yang tidak mudah ngambek dan marah-marah dianggap hal yang biasa saja, untuk itu tidak cukup bisa dibanggakan;
  • Orientasi nilai. Orangtua kebanyakan lebih sering mengukur “kehebatan” seorang anak dari nilai pelajarannya di sekolah, atau di sekolah favorit mana ia belajar. Orangtua tidak peduli dengan perilaku, bahkan kadang ekstrem mentolerir dan memfasilitasi kenakalan, asalkan nilai-nilai setiap ujiannya bagus;
  • Biaya sekolah. Anggapan bahwa pendidikan di sekolah negeri lebih murah ketimbang sekolah swasta masih mendominasi dalam benak orangtua. Untuk itu, prioritas anak adalah mencapai nilai yang setinggi-tingginya agar bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah negeri. Biaya kemudian memang menjadi persoalan utama;
  • Stigma nilai jelek adalah bodoh. Tentu tidak ada orang tua yang ingin jika anaknya mendapat predikat “bodoh” hanya karena nilai pelajarannya selalu buruk. Gelar “bodoh” dalam pelajaran seringkali membuat orang semena-mena memvonis anak tidak bisa apa-apa, bahkan cenderung berkelakuan buruk pula;
  • Pendapat “masih anak-anak”. Sering kali orangtua berujar, “Namanya juga masih anak-anak,” di setiap kali anak berbuat sesuatu yang buruk. Orang tua tidak memberi anak sebuah tanggungjawab terhadap dirinya sendiri, karena menganggap masih anak-anak dan berpandangan orangtua yang harus mengatasi masalahnya anak;
  • Pendapat “kewajiban anak, belajar”. Orangtua kemudian selalu berpandangan bahwa kewajiban seorang anak itu adalah belajar dan sekolah yang pintar. Siapa yang memberi “kewajiban” itu? Apa alasannya orangtua memberi kewajiban itu? Pendapat atau pandangan ini akan mengesampingkan perilaku yang baik sebagai prioritas;

Mari sekarang kita perhatikan sikap dan perilaku anak-anak, baik itu bersumber dari cerita, berita di media, ataupun pada diri anak kita sendiri kesehariannya. Bagaimana sikap dan perilaku anak saat menghadapi masalahnya? Setelah kita perhatikan, bagaimana pula dengan perasaan kita sebagai orangtua? Adakah rasa bangga, terharu atau justru mengagetkan saat anak berperilaku mandiri, punya rasa empati (membantu/menolong orang lain), tidak marah atau tersinggung meski sedang diledekin, mau mengakui kesalahannya dengan berbicara jujur, bisa menasehati temannya yang berbuat tidak baik?

Orangtua sudah terlalu sering melihat kenakalan seorang anak, sehingga saat anak berbuat baik maka dianggap hal yang sangat biasa. Sementara anak yang berprestasi akademik dengan memperoleh nilai tinggi dianggap hal yang sangat luar biasa. Kembali lagi, mengapa orangtua berbeda dalam merespon setiap karakter anak? Mari sekarang dengan jujur kita pahami dengan benar. Hal mana yang paling penting bagi anak kelak dalam menjalani hidup dan kehidupannya, yang mampu mengatasi masalahnya dan berperilaku baik, ataukah yang pernah mendapat nilai-nilai bagus saat masa sekolah?

Ini sebuah pengamatan atau observasi kecil-kecilan yang kerap saya lakukan berbasis obrolan dengan banyak orangtua (mohon maaf sebelumnya). Jujur saja, banyak orangtua yang berorientasi agar anaknya kelak menjadi seorang yang kaya (memiliki materi berlebih). Entah si anak mau menjadi apa yang penting kaya, bergaji besar, memiliki rumah bagus, bisa membeli mobil, tentu ujungnya juga akan membahagiakan orangtuanya. Orangtua tidak ingin “merugi” setelah sekian banyak materi yang ia keluarkan untuk anaknya tercinta.

Untuk itu, berdasarkan “pengalaman” nya orangtua mengarahkan anaknya untuk mengikuti setiap apa yang disampaikannya. Pada umumnya orangtua berpikir pragmatis agar anaknya menjadi pintar, lulus dengan predikat sangat memuaskan, kemudian bisa bekerja dengan gaji yang besar. Orangtua tidak ingin anaknya kelak miskin (tanpa memiliki apa-apa dan tidak bisa membeli apa-apa). Orangtua tidak ingin malu karena anaknya seperti itu. Karena, masyarakat masih mengukur keberhasilan seseorang itu dari kekayaan.

Tidak peduli bagaimana perilaku sosialnya anaknya yang penting kaya. Hingga pada suatu ketika si anak mendapatkan masalah karena ia tidak bisa mengatasi masalahnya (entah bertengkar dengan orang, entah terlibat tindak pidana, entah narkoba), yang pada intinya “memalukan” keluarga, apa yang akan dilakukan orangtua terhadap anaknya tersebut? Tentu orangtua tidak berharap demikian, tapi ini teori politik yang mengatakan bahwa “power tends to corrupt”. Sebuah kekuasaan cenderung berpotensi melahirkan kesalahan, apalagi jika tidak dibarengi dengan perilaku yang baik.

Yang sangat ideal tentu setiap orangtua menginginkan anaknya menjadi pintar dhus berperilaku baik dan mandiri. Kepintaran dalam pelajaran (terutama nilai-nilai bagus) tidaklah kekal, karena ia bersifat “dipelajari” sesaat (selama belajar di sekolah).

Berbeda dengan sikap dan perilaku yang jika sudah terbentuk maka akan dilakukan terus-menerus menjadi sebuah kebiasaan, melekat dalam diri hingga kapanpun. Saya tidak dalam posisi untuk meyakinkan pembaca agar membiarkan anaknya menjadi tidak pintar. Saya sudah cukup senang jika orangtua berbangga hati jika melihat dan apalagi mengajarkan anak-anaknya mampu mengatasi masalahnya mereka sendiri.

Hal-hal yang kerap menjadi masalah anak:

  • Bagaimana sikapnya jika ia diolok-olok atau disakiti?
  • Bagaimana sikapnya jika ia dituduh melakukan sesuatu yang tidak ia lakukan?
  • Bagaimana sikapnya jika ia terbukti berbuat salah?
  • Bagaimana sikapnya jika ia tidak bisa menyelesaikan pekerjaannya?
  • Bagaimana sikapnya jika ia tidak mendapatkan apa yang diinginkan?
  • Bagaimana sikapnya jika ia diperintah atau diberi tugas?
  • Bagaimana sikapnya jika ia melihat atau mendengar kesusahan orang lain?
  • Bagaimana sikapnya jika ia bertemu dengan orang yang lebih tua darinya?
  • Bagaimana sikapnya jika ia melihat ada sesuatu yang tidak benar?

Sementara itu ada beberapa sikap yang biasanya dilakukan anak terhadap masalah-masalahnya:

  • Mengadu kepada orang lain (teman, guru, orangtua) dan meminta menolongnya dengan sedikit memaksa;
  • Hanya sekadar bercerita kepada oranglain tanpa meminta untuk menolongnya;
  • Marah serta menunjukkan ekspresi sangat tidak suka (mengomel, berteriak, memukul, dll);
  • Ngambek, putus asa dan berdiam diri, berharap ada orang yang mau mengerti akan dirinya;
  • Menangis, karena merasa sudah tidak mampu menanggung beban di pundaknya;
  • Berdiam diri, cenderung mengalah karena tidak ingin konflik;
  • Berdiam diri, karena sangat ketakutan dan bisa melukai dirinya sendiri;
  • Tetap ceria tapi hanya berdiam diri tidak merespon (menganggap bukan masalah besar);
  • Merespon dan mengambil langkah seperlunya;
  • Bercerita kepada orang lain, meminta saran atau pendapat, kemudian kembali mengatasi masalahnya;   

(Yang pasti dan sangat disayangkan, teknik atau cara mengatasi masalah seperti ini tidak ada mata pelajarannya di sekolah dan tidak pernah dinilai seperti mata pelajaran bahasa, berhitung, sejarah, dan sebagainya).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline