Lihat ke Halaman Asli

Terkontaminasi

Diperbarui: 20 Juli 2023   18:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Wangimu tak lagi sedap untuk aku cium, harummu tak lagi sanggup untuk membuatku tertawan. Gelagatmu, sudah semestinya bisa aku hindari tanpa berpikir panjang lagi untuk pasti berhenti.

Terlalu banyak sesak darimu tertanam di sanubari, selain tingkat arogansi level tinggi yang sebaiknya aku jauhi seiring hati-hati. Belajar untuk tidak lagi mencium, satu kepastian yang butuh disegerakan.

Jangankan menatap untuk lalu menetap, untuk membuka mata atau mencoba buka suara demi sekadar berbasa-basi ria, aku sudah tidak punya niatan lagi untuk melakukannya.

"Katanya harum yang hebat, tapi?"

"Katanya harum yang tepat, tapi entah dimana peka itu berada."

"Katanya harum yang siap melekat, tapi?"

Memberi keutuhan, dibalas keberatan. Memupuk keringanan, dibalas kekakuan. Menawarkan satu jalan, malah dihiraukan. Mencoba jelaskan, justru diabaikan.

"Bukan aku butuh dibalas, justru aku percaya bahwa harummu itu adalah kesungguhan."

"Bukan aku mengharapkan, justru aku percaya bahwa harummu itu adalah kelembutan."

"Bukan aku menginginkan untuk selalu disetujui, justru aku ini sangat mempercayai bahwa harum juga ranum milikmu itu, tentu saja murni."

Sedangkal itu tingkat kedalaman, kelak akan jadi satu penyesalan. Sesempit itu menelaah luasnya leluasa, nanti akan menjadi satu rupa rasa sesak itu sendiri yang terbukti akan disesali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline