Aku menemukan kesungguhan, setelahnya aku tertegun ditemani reruntuhan. Aku terkesima, setelahnya di beberapa saat sebelumnya aku alami kurang bertenaga.
Aku merasakan keteduhan, aku dihinggapi ketulusan. Aku dibawanya menuju ragam kejadian, yang sungguh sanggup membuka dua sisi mata.
Aku dituntun, lalu dengan perlahan temui tabayyun yang datang secara beruntun. Lagi dan lagi aku tertegun, untung saja tanpa mengalami yang rasanya itu adalah terhuyung.
"Kasat menjadi kesat. Kesat semestinya mewujud obat. Satu obat serupa nikmat yang bukan untuk sesaat."
"Lirih menjadi benih. Benih berwarna putih. Putih meraih bersih, lalu tak lagi sajikan rintih pula tertatih yang tercurah membasahi wajah."
Aku kian merasakan kesepian, ditumbuhi berserah diri. Aku ditempa olehnya sunyi, demi menjadi yang akan sebaiknya terjadi.
Aku tidak akan berhenti, apalagi untuk bersembunyi. Kini aku jadi lebih mengerti tentang apa itu simfoni hati. Jalan terjal itu, secara bertahap akan segera aku lewati.
"Aku tengah berdiskusi dengan janji itu sendiri, tidak untuk aku ingkari. Akan aku penuhi."
Bandung, 26 September 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H