Memang ramai, bahkan bisa disebut terlalu ramai. Penuh sesak keramaian, dijejali keriuhan, meski untuk kemudian aku menemukan.
"Setiap episode hidup, memang tidak ada yang namanya kebetulan bukan?!"
Aku menemukannya bukan kebetulan. Ini suratan, ini salah satu adegan yang kami berdua adalah pemerannya. Entah itu figuran, ataupun tokoh utama, tidak perlu juga kami perdebatkan.
Aku menyaksikan kesederhanaan, aku menikmati pemandangan. Lalu aku mensyukurinya, toh bagiku... memang yang terjadi adalah satu wujud kenikmatan, bersanding kesegaran darinya yang menawan.
"Hanya sebentar, tidak untuk lama. Dia memang tengah bersama-sama dengan apa dan siapa yang selalu pun betah menemaninya."
"Aku sama sekali tidak keberatan. Aku tersenyum ketika dia meninggalkan. Kami memang hanya sekadar berpapasan, di satu keadaan yang unsurnya hanya kemungkinan."
"Bidadari... aku mau yang sepertimu. Andai memang DIA memperkenankan, pula menghendaki." Celotehku sendiri.
"Bidadari... parasmu biasa, tak seperti yang lainnya, yang sungguh amat sangat jelita. Namun aura, pesona, pun anggunmu itu, yang membuatku kagum akan dirimu." Nilaiku, pandanganku, untuknya.
Aku hanya terdiam, ketika langkah kakinya melewati suhu tubuhku. Aku hanya terpaku, melihatnya melaju, untuk akan segera berlalu dari pandanganku.
Aku sungguh tak menyangka, ternyata dia sempat menolehku, lalu tersenyum. Sekuntum yang begitu anggun, buatku tertegun. Dia yang di gerakan berikutnya, melangkah yakin untuk berlalu dari gambaranku.
"Bidadari... aku tidak butuh tenggelam. Namun aku pastikan, senyum pun anggunmu itu, akan aku tanam di ingatan."