Malam yang indah, saat seorang Kakek singgah dengan raut wajah yang memancar begitu cerah. Terlihat tak nampak gundah, berjalan dengan begitu gagah, seolah meminta agar aku segera melepas resah, yang detik ini tersirat melalui wajahku yang rasakan lelah juga pasrah.
"Kotoran itu segerakan dibersihkan, jangan dipertahankan." Ucapnya yang tiba-tiba saja.
"Jubah itu kebesaran, yang hanya membuat longgar yang tentu saja tidak pas untuk dikenakan." Ujarnya kemudian.
"Pikiran itu bukan digunakan untuk melahirkan kebuntuan, justru untuk melapangkan perasaan." Masih ujar dari beliau yang kini tepat dihadapan.
"Bila cinta adalah kebutuhan yang akan mewakili perasaan... ketulusan, kejujuran, kesadaran, jangan ditutupi tertutupi keinginan yang tak sehaluan dengan intuisi hati." Masih beliau bertutur kata.
"Bila hidup adalah rupa-rupa keadaan yang mengharuskan bisa beradaptasi, jadikan hidup yang hanya satu kali... berbuah tindak-tanduk yang bukanlah ego diri yang hanya akan membuat nyeri lalu merugi di kemudian hari." Paparan yang cukup panjang, dari seorang yang terlihat sangat matang di usianya yang kesekian.
Aku benar-benar hanya bisa jadi seorang pendengar, aku benar-benar sadar bahwa setiap ujar yang beliau sampaikan, begitu menampar yang justru hadirkan pijar yang menghampar.
Aku berdebar, aku tergetar... akan ujar dari seorang penghantar yang ajarkan aku tentang apa itu benar. "Benar yang tentunya adalah untukku, seorang kurang ajar yang sudah saatnya belajar tak terpapar keinginan yang hanya andai saja, bilamana pun apabila yang sekiranya."
Salam Fiksiana, Ridwan Ali 14072020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H