Lihat ke Halaman Asli

Aku Ingin Punya Hutan

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Awan hitam nan pekat senantiasa menghiasi hari-hariku. Hujan, bukanlah hal yang aku nantikan. Aku sangat takut jika hujan turun. Aku masih trauma atas semua kejadian yang menimpaku, persis ketika hujan turun. Aku selalu berdoa kepada Tuhan untuk menunda menurunkan hujan, paling tidak hingga aku memiliki hutan.

***

Aku lahir pada 20 Juli 2080 di sebuah Kota Kecil di Kalimantan Timur. Sebagai anak semata wayang dari keluarga pengusaha, aku sangat senang karena hidupku bekecukupan. Aku diperbolehkan untuk minta apa saja, orangtuaku dengan senang hati akan memberikannya. Namun, ada hal yang sampai saat ini tidak pernah bisa dipenuhi oleh orangtuaku. Aku ingin punya hutan, itulah pintaku yang sampai saat ini belum bisa dipenuhi oleh kedua oarngtuaku.

Dari cerita guru-guruku di sekolah, aku sedikit banyak mengetahui tentang hutan. Awalnya aku sangat terkejut mendengar penuturan guruku mengenai hutan. Beliau menceritakan bahwa hutan adalah sumber pokok bagi kelestarian lingkungan, tempat tinggalnya flora dan fauna Indonesia. Hutan juga membantu menyediakan oksigen untuk manusia bernafas. Selain itu juga, hutan mampu menyerap air hujan dan mencegah banjir serta longsor.

Aku masih terkejut atas cerita guruku. Kemudian beliau melanjutkan, “Dulu, negara kita adalah negara yang sangat terkenal dengan kelebatan hutannya. Sampai-sampai negara kita ini dijuluki sebagai paru-paru dunia. Negara kita mempunyai kawasan hutan yang sangat luas yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Hutan Indonesia sangat luas. Flora dan fauna tumbuh subur di dalam hutan. Bahkan ada hewan fauna yang disebut orang utan, yang memiliki habitat asli di hutan Indonesia.”

Belum selesai guruku bercerita, aku tak lagi bisa menahan rasa penasaranku, segera kuacungkan tangan dan bertanya. “Bu, mengapa orang-orang Indonesia terdahulu tidak menjaga hutan? Padahal kan manfaatnya sangat banyak?”, tanyaku kepada Bu Guru. Bu Guru terdiam sejenak, dan kemudian menjawab pertanyaanku. “Ada sesuatu yang salah di pikiran orang-orang terdahulu, Nak. Mereka mengaligfungsikan hutan-hutan di Indonesia menjadi lahan-lahan perkebunan sawit dan kegiatan-kegiatan dengan motif ekonomi lainnya. Tuntutan ekonomi membuat mereka lupa. Lupa bahwa kita, anak cucu mereka, masih akan hidup di sini. Mereka nampaknya tidak berpikiran jauh ke depan. Yang mereka pikirkan hanya bagaiamana cara mendapatkan keuntungan.”

Lalu Bu, aku bertanya lagi, bagaimana dengan anak mudanya? Apa mereka sama sekali tidak tahu akan pentingnya menjaga kelestarian hutan? Dengan nada yang pelan, Bu Guru menjawab, “Anak-anak muda Indonesia terdahulu sebenarnya cukup paham dan mengerti akan pentingnya menjaga kelestarian hutan. Tapi, mereka tidak banyak berbuat. Sebagian besar dari mereka sibuk dengan masalah-masalah lain yang banyak melanda negara kita ini. Dan sebagian dari mereka juga sibuk mengejar obsesi pribadi dan sama sekali tidak memikirkan masalah hutan.”

Oke, kalau pemuda tidak ambil bagian bagaimana dengan pemerintahnya, Bu? Tanyaku bersemangat. Guruku kembali menjawab, “Dulu, Indonesia pada tahun 1990 masih cukup hijau dan lebat hutannya, meskipun sudah ada yang berkurang. Dan dua puluh tahun setelah itu, tepatnya pada tahun 2011, pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium tentang hutan. Inti dari moratorium tersebut adalah pemerintah memberlakukan kebijakan penundaan sementara izin kehutanan di hutan primer dan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit. Moratorium tersebut dimulai pemerintah Indonesia sejak tahun 2011 melalui Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011. Moratorium tersebut merupakan upaya pemerintah menekan laju deforestasi yang terjadi di Indonesia. Pemberlakuan moratorium tersebut berhasil menekan laju deforestasi sebesar 500.000 hektar.”

Aku tidak puas dengan diskusi di kelas tersebut. Diskusi singkat yang berlangsung di kelas tersebut menyelipkan rasa penasaran bagiku. Aku kemudian mencari tahu lebih lanjut tentang hutan Indonesia. Benar saja, aku terkejut atas gambar hutan Indonesia yang muncul di mesin pencari. “Hutan yang sungguh lebat”, gumamku. Andai saja aku punya hutan, selebat hutan Indonesia dulu. Aku tak habis pikir, mengapa kakek nenekkku tidak mewariskan hutan yang lebat kepadaku. Apakah dulu, hutan sama sekali tidak dianggap penting? Hal inilah yang senantiasa membuat aku sedih. Terlebih lagi ketika hujan turun, hampir dapat dipastikan rumahku tenggelam.

Hanya satu pintaku kepada orangtuaku. Aku ingin punya hutan. Aku ingin merasakan udara segar seperti yang dirasakan oleh kakek dan nenekku dulu. Aku juga ingin melihat flora dan fauna Indonesia tumbuh subur di hutanku nanti, seperti yang diceritakan guruku. Dan yang pasti, aku tidak ingin lagi merasakan banjir berkepanjangan ini. Aku ingin segera menyudahinya. Aku ingin punya hutan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline