Oleh : Muh. Ibnu Choldun R, Sugondo Hadiyoso, Rolly Maulana Awangga.
Internet adalah salah satu produk teknologi yang menjadi kebutuhan dan gaya hidup manusia global sejak beberapa dekade terakhir termasuk di Indonesia. Tanpa kita sadari, internet telah mengubah gaya hidup, kebiasaan, sosial, ekonomi dan budaya kita [1] [2] [3]. Berbagai aspek kebutuhan dalam hidup dapat diakses melalui internet seperti komunikasi, bisnis, informasi, hiburan, pendidikan dan lainnya. Dengan berbagai aplikasi dan fitur yang disediakan menjadikan pengguna internet terus bertambah secara signifikan terutama di Indonesia. Berdasarkan hasil survey, pada tahun 2014 populasi pengguna internet sekitar 88 juta dan naik 2 kali lipat pada
rentang waktu yang cukup singkat pada tahun 2018 [4]. Penetrasi pengguna internet lebih dari 50 persen dari total jumlah penduduk Indonesia saat ini dan masih mempunyai peluang pertumbuhan jumlah pengguna hingga puluhan juta setiap tahunnya. Namun pemakaian internet secara massiv dan terus-menerus dapat memberikan dampak positif atau negatif yang signifikan bagi pengguna dan lingkugan sekitar.
Banyak pengguna yang dapat memanfaatkan teknologi ini untuk meningkatkan produktivitas pekerjaan mereka namun tidak sedikit yang mengalami hal sebalknya akibat penggunaan secara intensif hingga meninggalkan aktivitas pekerjaannya serta memberikan dampak psikologis yang negatif. Kondisi dimana seseorang menggunakan internet secara intensif dan tidak mampu mengendalikannya sehingga menimbulkan kecenderungan negatif secara umum disebut kecanduan internet. Penelitian tentang adiksi internet pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Kimberly Young pada tahun 1996 yang memberikan
definisi terhadap adiksi internet [5]. Namun sebelumnya penelitian yang terkait dengan adiksi teknologi telah dilakukan oleh Shottong pada tahun 1991 yaitu adiksi komputer. Peneli- tian ini yang mengawali Young untuk mempelajari adiksi teknologi yang lebih spesifik yaitu internet addiction. Menurut Young adiksi internet adalah penggunaan internet secara berlebihan hingga tidak dapat mengontrol perilakuanya untuk menghentikan kegiatan online-nya. Penelitian yang dilakukan young memunculkan banyak pertanyaan dan kontroversi bagi ahli medis maupun akademisi karena dipandang bias dan sulit untuk diukur secara empirik. Definisi kecanduan secara normal adalah jika seseorang ketergantungan terhadap suatu obat-obatan, alkohol atau bahan kimia lainnya.
Namun paradigma ini secara perlahan berubah sejak dimulainya penelitian tentang kecanduan yang mengarah ke perilaku manusia seperti bermain game, menonton televisi dan makan. Jika kita pandang paradigma tersebut maka adiksi internet ini cenderung kategori adiksi berkaitan dengan perilaku. Penggunaan internet untuk hal non produktif secara terus-menerus dan berlebihan dapat memberikan pengaruh negatif bagi psikologis, mental dan masalah sosial. Beberapa studi telah dilakukan seperti efek adiksi internet terhadap psikologis, kehidupan sosial, penurunan performa kerja hingga terapi untuk penyembuhannya.
Gagasan pertama bagaimana pengukuran dan diagnosa adiksi internet [6]. Dikembangkan kembali oleh Young dalam papernya tahun 1996 [5]. Young kemudian mengusulkan instrument diagnosa kecanduan internet yang dikenal dengan Young of the Internet Addiction Questionnaire (YDQI) dengan delapan item pertanyaan.
Subjek yang menjawab yes sebanyak 5 dari 8 pertanyaan yang diajukan maka didiagnosa kecanduan internet. Namun instrument ini masih menimbulkan pertanyaan bagaimana validitasnya pada saat diberikan kepada subjek yang intensif menggunakan internet untuk pekerjaan mereka. Kemudian berkembang instrument lainnya untuk assement seperti Internet Addiction Test (IAT) sebagai revisi dari YDQI, Chens Internet Addiction Scale (CIAS) dan the Internet addiction scale (IAS) [7]. Survey adiksi internet melalui metode diatas pada kelompok usia yang beragam dan jumlah sampel yang berbeda telah dirangkum pada penelitian Roberto Poli [7]. Dari penelitian ini didapatkan nilai adiksi internet yang beragam, namun dapat diperkirakan populasi pecandu internet ada orang dewasa sekitar 2%.
[8]. Fokus penelitian lain adalah dampak penggunaan internet berlebihan terhadap kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi telah dilaporkan pada studi [9] [10] [11] [12]. Dampak lainnya yang juga diteliti adalah menurunnya kualitas terhadap hubungan interpersonal yang dilaporkan pada studi [13] [14]. Adiksi internet juga berdampak terhadap penurunan kinerja terhadap subjek dewasa telah dilaporkan pada [15]. Dampak negatif adiksi internet telah menjadi masalah besar oleh hampir seluruh dunia tentunya pencegahan dan treatment juga telah dilakukan untuk mengobatinya.
Ahli medis dan akademisi bersama-sama memberikan kontribusi dan solusinya untuk masalah ini termasuk di Indonesia dengan jumlah pengguna internet cukup besar memiliki angka potensi yang tinggi terhadap kecanduan internet. Pada studi ini telah dilakukan survey adiksi internet kepada sejumlah responden menggunakan instrument IAT. Studi yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak responden yang diduga mengalami kecanduan internet atau sebaliknya yaitu mampu mengontrol penggunaan internet. Kami melakukan analisis terhadap pengujian Reabilitas dan hasil survey secara menyeluruh untuk menghasilkan simpulan yang dapat dijadikan acuan khususnya bagi penelitian adiksi internet. Pada studi ini juga dibahas tentang kontroversi, kritik dan masalah atas Konsep Adiksi Internet yang ditinjau dari sisi Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Teori Pendukung
A. Adiksi Internet
Internet addiction atau adiksi internet adalah salah satu gangguan kejiwaan yang ditandai dengan keasyikan yang berlebihan atau tidak terkontrol, mendesak atau perilaku tentang penggunaan komputer dan akses internet yang menyebabkan gangguan atau distres [16]. [17] menyebutkan bahwa adiksi internet didefinisikan sebagai ketidakmampuan individu untuk mengontrol penggunaan internet, menghasilkan masalah berat dan ketidaklengkapan kerja otak atau mental fungsional dalam kehidupan sehari-hari.