Lihat ke Halaman Asli

67 Tahun PSI; Memupus Ratapan, Memupuk Harapan

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahun 2015 merupakan tahun ke 67 Partai Sosialis Indonesia (PSI) berdiri sejak 12 Februari 1948 di Yogyakarta. Banyak dinamika dan pasang surut yang menyertai perjalanan partai berlambang bintang ini.

Sebagian orang mengira partai ini telah tiada. Sebagian kecil lagi mengetahui bahwa partai ini tetap ada dan dirasakan adicitanya. Termasuk statement Sekjen -pada Januari 2015- salah satu partai penguasa yang masih merasakan pengaruh ideologi PSI. Namun sayang, ia salah terka dan gagal paham, pun salah orang.

Hingga kini, hanya PSI yang dikenal sebagai wadah perjuangan kaum Sosialis kerakyatan dan cukup diketahui publik dengan tokoh-tokoh besarnya dulu. Kalaupun ada partai lain saat ini yang mengusung sosialisme, kebanyakan belum berani mengusung ideologi partainya secara terang-terangan.

Itupun cuma sebatas simbol semata. Bahkan oleh publik awam, seringkali sosialisme identik menganut aliran Komunisme. Padahal, sosialisme kerakyatan jelas sekali berseberangan dengan komunisme.

Walaupun 'reproduksi' partai ini (PSI) terbilang lamban, namun perlahan tapi pasti banyak generasi muda yang terilhami ideologi Sosialisme Kerakyatan. Ideologi yang dianut oleh partai yang dikenal sebagai partai kader ini masih cukup diterima terutama di kalangan kelas menengah karena melantunkan nafas kemanusiaan dan demokrasi.

Dua hal yang menjadi trending topic manusia modern di tengah kecamuk globalisasi. Kini, rupanya kemanusiaan menjadi standar kehidupan yang getol diperjuangkan di pelbagai sektor. Tak seperti dahulu di era awal kemerdekaan, nilai kemanusiaan sering dinomorduakan setelah Nasionalisme. Tentu saja itu nasionalisme sempit, yang lahir dari semangat kebebasan dan perjuangan nan prematur.

Memapah Kedewasaan Politik

Keberadaan kaum sosialis dalam nafas kehidupan massa rakyat, tentu dirasakan apabila masih adanya kader-kadernya yang melakukan kerja-kerja politik ideologi dan menjadi pemimpin di lingkungannya masing-masing.

Saat ini, dengan melimpahnya kaum intelektual nan berpendidikan di Indonesia mestinya kaum sosialis dapat memanen cita-citanya dengan heroik. Namun, sepertinya kepercayaan diri kaum intelektual –yang merupakan penggerak utama kaum sosialis- sekarang sedang mengalami titik balik.

Buah pikir kaum intelektual bagi sebagian awam saat ini masih dianggap obskur, kabur dan dipenuhi kabut. Bahkan terkesan serampangan yang memamah-biakan kekecewaan kolektif. Padahal tidak semuanya yang bisa dianggap demikian. Namun rupanya publik terlanjur lebih terkesima dengan aksi pengeboman kapal nelayan menteri Susi yang menghabiskan alutista, hingga gerutu dan makian Gubernur Basuki soal pompa.

Hal diatas tidak penulis sebut sebagai hal yang tak baik, namun lebih kepada pengejaan situasi masyarakat saat ini yang bosan dengan tutur konsepsi dan teori pikir yang ideal (walaupun beberapa diantaranya benar).

Tentu kita masih ingat makian dan debat massal yang sempat menjadi trend di netizen dan sebagian masyarakat pada tahun 2014 ketika Pilpres lalu, menjadi indikator bagi kita bahwa belum cukuplah pendidikan politik saat ini untuk membawa karakter sebagian masyarakat untuk berdewasa pikiran secara kolektif.

Begitu trengginasnya massa pendukung masing-masing capres, hingga mampu mengubur suara-suara objektif rakyat yang sebenarnya. Republik ini ketika itu, seperti pasar modal yang riuhnya melampaui pasar ayam. Penulis sendiri pernah hampir terjebak oleh pendukung salah satu capres yang menitip sebarkan tabloid sesat dan ternyata memuat kampanye hitam.

Sementara itu diluaran, Polisi dan ormas saat itu tengah mencari tabloid tersebut. Kini, oknum pendukung itu sedang getol menjadi aktifis lingkungan hidup dan pembela HAM. Dia selamat dari pencarian polisi, tapi kini mencari selamat dari tangisan warga yang di advokasinya. Seperti itukah wajah kaum intelektual? Ah, itu terkesan imbesil.

Memupus Ratapan, Memupuk Harapan

Kini, buah pikir kaum intelektual serasa dianggap gurauan yang mengutip dari buku-buku tebal teronggok di perpustakaan. Massa rakyat lebih takzim dengan lafaz syiar berita dari stasiun TV swasta yang sebenarnya sarat doktrin-doktrin politisi pemiliknya (baca: pengusaha media). Massa rakyat menikmati suguhan itu setiap hari di lorong pasar, gang dan selasar rumahnya masing-masing seraya menghitung ongkos sekolah anak-anaknya esok pagi.

Peristiwa diatas telah menjadi elegi yang kerap menjumput harapan tatkala dulu negeri ini didirikan. Bukankah republik ini didirikan diatas selaksa harapan? Lalu kenapa hari ini seakan harapan itu telah berganti wajah dengan ratapan?

Hal ini lantaran banyak dari kita yang terus setia memelihara rasa pesimis dan mengutuk keadaan.Ketimbang kita ikut latah memperpanjang barisan kemalangan, bukankah bisa kita mengisi barisan massa rakyat dengan kemandirian dan optimisme?

Kemandirian adalah salah satu kunci untuk melawan. Ya, melawan kemiskinan dan ketidakmampuan massa rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri. Kembali dan kenalilah desamu, didik dan mandirikan komunitasmu. Kita bisa memproteksi kemakmuran kolektif dengan mengimplementasikan ekonomi kerakyatan secara berjamaah. Massa rakyat yang memiliki modal, massa rakyat yang memproduksi, massa rakyat pulalah yang mengkonsumsi dan memetik kesejahteraan.

Konsep ini telah pula dipraktikan oleh Gandhi dengan Swadeshinya, M Yunus dengan Grameen Banknya, dan PSI dengan Ekonomi Kerakyatan Berjejaringnya. Namun, konsep sedemikian holistik takkan pernah bisa terwujud manakala kita lebih sering terkurung dibalik beton dan dinding besi kaca yang berjalan, ketimbang bergumul peluh dengan rakyat usang.

Kaum sosialis Indonesia bisa bangkit, sejurus dengan kebangkitan optimisme massa rakyat yang mampu memimpin dirinya sendiri. Namun, sebelum hal itu terjadi, pimpinlah dirimu sendiri tuk menjadi pemimpin di tengah umat manusia yang termanusiakan. Ma(mp)u?

Dirgahayu Partai Sosialis Indonesia ke 67 Tahun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline