Lihat ke Halaman Asli

“Papa Minta Saham”, Akal Bulus vs Pejuang Antikorupsi

Diperbarui: 21 Desember 2015   12:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sidang Majelis Kehormatan Dewan (MKD) dengan terlapor Setya Novanto dalam kasus “papa minta saham” diwarnai beberapa adegan layaknya drama sinetron. Salah satu yang menarik adalah ketika pimpinan DPR Fahri Hamzah menandatangani surat pemberhentian anggota Fraksi NasDem Akbar Faisal dari keanggotaannya di MKD. Hal ini mungkin bisa diprediksi karena selama sidang Akbar paling “getol” untuk meminta MKD menjatuhi sanksi kepada Setya karena pelanggaran etiknya.

Alasannya simpel, Akbar Faisal berusaha keras meminta MKD menjatuhkan sanksi etik kepada Setnov demi memulihkan nama baik anggota dewan yang tercoreng. Namun, sepertinya masih ada saja orang-orang yang kontra dengan antikorupsi seperti Kahar Muzakir, Ridwan Bae dan beberapa orang lainnya yang masih membela Setya mati-matian.

Meskipun pada akhirnya anggota MKD satu persatu membacakan putusan dan ingin Setya dikenakan sanksi etik namun politisi Golkar itu masih punya jurus pamungkas yaitu dengan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua DPR RI. Pengunduran Setya membuat dirinya lepas dari jerat MKD terkait pelanggaran etik yang mencatut nama Presiden RI Jokowi untuk meminta saham PT Freeport dalam pertemuannya dengan Presdir PT Freeport Indonesia Ma’ruf Sjamsoedin di salah satu hotel di kawasan SCBD.

Sekedar berandai-andai, jika Setya tidak mengundurkan diri dan dikenakan sanksi etik, maka tidak menutup kemungkinan pria yang diduga tersangkut korupsi E-KTP itu dipecat dari anggota dewan. Dengan pengunduran diri ini, Setya terbebas dari sanksi etik dan dia tetap menjadi anggota DPR seta tetap dipercaya menjadi Ketua Fraksi Golkar, sementara posisinya digantikan Ade Komarudin yang juga berasal dari Fraksi Golkar yang sebelumnya menjabat ketua fraksi partai tersebut.

Menurut pandangan saya pribadi, Fraksi Golkar ini memang solid, tapi bukan solid dalam artian positif namun mereka kompak dalam hal korupsi. Jika ada kadernya korupsi maka yang lain harus membela dan mencari cara agar koruptor itu terbebas dari sanksi. Fenomena ini juga menjadi bukti bahwa mental para anggota dewan kita bukan lagi mewakili kemauan rakyat namun mewakili kelompok dan golongannya sendiri. Jika memang Golkar benar-benar mewakili suara rakyat, saya rasa tidak ada yang membenarkan perbuatan Setya Novanto ini.

Meskipun banyak politisi yang memiliki mental yang bobrok, tapi saya rasa tidak semua bersikap demikian. Contohnya Partai NasDem yang menunjukan sikap yang konsisten dalam memerangi korupsi. Publik pun bisa melihat bagaimana sikap Ketua Umum NasDem Surya Paloh ketika mantan Sekjen NasDem Patrice Rio Capella ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima suap Rp 200 juta dari Gubernur Sumut nonaktif Gatot Pujo Nugroho. Saat itu, Surya menegaskan tidak akan memberikan bantuan hukum apapun dan meminta Patrice segera mengundurkan diri dari anggota DPR serta jabatannya di NasDem.

Surya pun menjadi pemimpin partai pertama yang secara kooperatif menyambangi KPK. Jika kita membandingkan dengan ketua partai lain yang selalu menolak dan pura-pura sakit ketika dipanggil KPK, menurut saya tindakan Surya ini patut diapresiasi dan menjadi pembelajaran bagi semua politisi dimana jika tidak merasa bersalah, maka tidak perlu takut untuk berhadapan dengan siapapun, termasuk KPK.

Keberanian Surya yang luar biasa ini juga melekat pada kader NasDem lainnya, baik di daerah maupun di DPR dimana Fraksi NasDem paling vokal mengungkap kebenaran pencatutan nama Presiden Jokowi oleh Setya Novanto dan dilaporkan oleh Menteri ESDM Sudirman Said ke MKD DPR.

Sikap antikorupsi NasDem ini pun mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat Indonesia. Hal itu terbukti ketika Pilkada serentak 9 Desember beberapa waktu lalu, 129 kader NasDem berhasil menjadi kepala daerah.

Keberhasilan NasDem ini menjadi gambaran bagi kita semua bahwa rakyat sangat membenci koruptor dan menginginkan pemimpin yan bisa bertindak tegas pada koruptor meskipun dari kelompoknya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline