Tiba-tiba saya teringat dengan berbagai harapan yang pernah terucapkan setahun lalu; "semoga tahun depan, pandemi sudah tidak ada dan kita merayakan idul adha dengan penuh kegembiraan seperti sedia kala".
Saya percaya tentu itu bukan hanya menjadi harapan saya saja pada tahun lalu, melainkan juga hadir lewat doa-doa kaum beriman di atas sajadah nya, juga pedagang-pedagang di jalanan, hingga barangkali sudah menjadi obrolan hangat di warung-warung kopi nan amat sederhana.
Namun, ternyata sampai hari ini kita masih berperang melawan Covid 19. kendati demikian, mari kita coba maknai Idul Adha ini seindah mungkin, meski di tengah pandemi.
Semenjak terbenamnya matahari pada 9 Dzulhijjah, gema kalimat takbir berkumandang dimana-mana. Sejenak hati tersentak, lewat alunan nadanya yang indah, selalu ada perasaan yang berbeda terasa di hati, semacam ada sedikit dorongan bathin yang merasaan kebahagiaan ataupun kesedihan.
Entah dorongan apa itu, tapi saya percaya bahwa kalimat pemujaan terhadap Tuhan itu amatlah besar dan di saat yang bersamaan menunjukkan betapa kecilnya kita.
Akhirnya kita temukan lagi bahwa penghayatan takbir itu letaknya pada perasaan mengkerdilkan diri di hadapan Tuhan.
Suara takbir itu berkumandang lagi, kali ini tidak hanya satu malam satu hari saja. Kalimat itu akan kita kumandang dan dengarkan selama beberapa hari ke depan.
Suara-suara itu tak hanya di dengar oleh mereka yang sehat saja, suara itu akan dihembuskan angin, masuk lewat jendela jendela rumah sakit, masuk ke kamar kamar mereka yang sedang terbaring.
Tetesan air mata pun keluar, ingin rasanya berkumpul tapi tak kuat seperti dulu. Air mata itu keluar lagi, seraya mengucapkan "Andai dulu aku ......".
Di sudut lain, seorang anak bingung mau kemana pulang karena tak punya rumah, begitu pula dengan mereka para pengemudi truk yang barangkali sampai saat ini masih di jalan, tak bisa menikmati gema kalimat takbir bersama keluarga tercintanya.