Di ujung jalan yang panjang, aku berjalan,
Menatap bayangmu, istri, dan anakku, dalam ingatan.
Takdir memisahkan kita dalam jarak yang tak terukur,
Demi nafkah, demi janji yang tak bisa kubantah ataupun kabur.
Malam-malam sunyi di tanah yang asing,
Angin dingin mengelus, hati penuh tangis terpendam.
Rindu yang tak kunjung berujung, menelusup ke dalam jiwa,
Bayangan tawa kalian, bagai cahaya di balik kabut luka.
Istriku, maafkan tanganku yang kini jauh,
Tak bisa lagi membelai, tak bisa lagi mengusap peluh.
Anakku, maafkan ayahmu yang pergi,
Setiap langkahku, ada namamu, namun tak bisa kulihat wajahmu lagi.
Langit yang sama kita pandangi setiap malam,
Namun jarak mengiris, harapan menjadi bintang kelam.
Aku berjuang, meski tubuh rapuh,
Karena cinta kita, adalah kekuatanku yang utuh.
Kembalilah kalian dalam pelukanku suatu hari nanti,
Saat nafkah telah kudapat, dan hidup kita tak lagi sepi.
Meski rindu ini pedih, kutanggung dengan sabar,
Untukmu, untuk anak kita, aku rela bersandar pada takdir yang getir.
Di ujung jalan yang panjang, kutatap fajar,
Semoga kehangatanmu, kelak menyambutku pulang dengan sabar.
Py Dapur, 14 Oktober 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H