Karpet Merah untuk Devina
Matahari perlahan-lahan terbenam di balik gedung-gedung tinggi Jakarta, memancarkan cahaya keemasan yang melukis langit dengan warna jingga. Di tengah keramaian kota yang sibuk, seorang gadis bernama Devina melangkah cepat menuju tempat yang sangat diidamkannya sejak kecil gedung teater besar di pusat kota. Malam ini, ia akan menjalani debut sebagai penari utama dalam sebuah pertunjukan balet yang prestisius.
Devina tumbuh besar dengan mimpi menari di atas panggung megah. Setiap hari setelah sekolah, ia berlatih dengan tekun di studio tari kecil dekat rumahnya. Ibunya selalu setia menunggu di luar, memberikan dukungan yang tak pernah pudar. "Suatu hari nanti, kamu akan menari di atas karpet merah," kata ibunya sambil tersenyum setiap kali Devina keluar dari studio dengan wajah berkeringat tetapi penuh semangat.
Setiap gerakan dan langkah tari yang ia pelajari, ia dedikasikan untuk ibunya yang telah bekerja keras membesarkannya sendirian. Ketika ibunya jatuh sakit setahun yang lalu, Devina sempat ragu untuk melanjutkan mimpinya. Namun, dengan dorongan dan keyakinan dari sang ibu, Devina memutuskan untuk terus berjuang. "Karpet merah itu bukan untukku, tapi untukmu, Devina. Kamu harus terus berusaha," ucap ibunya di sela-sela napas yang berat.
Malam ini adalah bukti dari semua kerja kerasnya. Devina tiba di gedung teater, dan dari kejauhan ia bisa melihat karpet merah terbentang di depan pintu masuk, dipenuhi oleh para tamu yang berpakaian mewah. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Pikirannya melayang kepada ibunya yang saat ini sedang terbaring di rumah sakit.
Di dalam gedung, para penonton sudah mulai memenuhi kursi. Lampu-lampu terang menyinari panggung, menciptakan suasana magis. Devina berdiri di belakang tirai, mengenakan kostum balet berwarna putih yang berkilauan di bawah cahaya lampu. Ia memejamkan mata, membayangkan senyum ibunya, dan berdoa agar ia bisa menampilkan yang terbaik.
Saat tirai terbuka, dentingan piano mengalun lembut, mengiringi setiap gerakan Devina yang anggun dan penuh perasaan. Penonton terdiam, terpesona oleh keindahan tarian yang dipertunjukkan. Setiap lompatan dan putaran dilakukan dengan sempurna, seolah-olah Devina terbang menari bersama angin. Di tengah tariannya, air mata mengalir di pipi, bukan karena kesedihan, tetapi kebahagiaan dan rasa syukur. Ia tahu, di dalam hatinya, ibunya sedang menyaksikan dan mendukungnya dari kejauhan.
Ketika tarian berakhir, tepuk tangan meriah menggema di seluruh gedung. Devina membungkuk dengan anggun, memberikan penghormatan kepada penonton yang memberikannya penghargaan penuh. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal di hatinya --- ia berharap ibunya bisa berada di sini bersamanya, merasakan momen yang luar biasa ini.
Setelah pertunjukan selesai, Devina segera pergi ke rumah sakit dengan membawa buket bunga yang diberikan oleh penggemarnya. Sesampainya di kamar ibunya, ia menemukan ibunya sudah terjaga, tersenyum lemah namun bahagia. "Aku tahu kamu akan melakukannya dengan baik," kata ibunya sambil menggenggam tangan Devina dengan erat.
Devina menceritakan betapa indahnya malam itu, tentang karpet merah yang selalu diimpikan ibunya. Ibunya tersenyum lembut, "Karpet merah itu memang untukmu, sayang. Aku selalu tahu kamu bisa melakukannya."