Lihat ke Halaman Asli

Awaluddin aceh

Guru Sejarah di SMAN 1 Kluet Timur

Di Balik Riuh Konflik

Diperbarui: 18 Juli 2024   10:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Di Balik Riuh Konflik

Pagi ini Aku lagi membalik-balik buku digudang rumah tua tempat tinggalku dulu, tidak sengaja kudapati buku diary ku saat aku masih sekolah SMP dulu. Ku baca perlahan kembali buku itu secara perlahan. Aku seorang siswa di sebuah sekolah SMP di daerahku. Pada saat itu, Aku duduk di bangku belakang kelas, menatap jendela yang terbuka lebar. Angin sepoi-sepoi membawa aroma hujan yang baru reda.

Pagi itu, saat aku tengah mendengarkan penjelasan guru tentang pelajaran PPKN, suara ledakan terdengar tak jauh dari sekolah. Semua orang terdiam. Guru kami, Pak Arifin, menghentikan penjelasannya dan menatap kami dengan tatapan penuh kekhawatiran.

"Anak-anak, tenang. Kita semua harus tetap tenang," katanya lembut, meskipun matanya menunjukkan ketakutan yang dalam.

Kami semua tahu bahwa dalam situasi seperti ini, yang terbaik adalah tetap di tempat dan menunggu hingga situasi mereda. Aku menggenggam tangan temanku, Jarimin, yang duduk di sebelahku. Jarimin berbisik pelan, "Semoga semua aman, ya."

Aku hanya mengangguk, mencoba menenangkan diri. Ayahku adalah seorang petani, dan ibuku mengurus rumah. Setiap hari, aku berdoa agar mereka selalu selamat. Konflik ini telah merenggut banyak nyawa, dan setiap kali ada ledakan atau baku tembak, hatiku berdegup kencang teringat ayah dan ibuku dirumah.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, suara ledakan mereda. Pak Ahmad menghela napas lega dan melanjutkan pelajaran. Namun, konsentrasi kami sudah terpecah. Pikiran kami melayang ke luar kelas, ke orang-orang yang kami cintai.

Saat jam istirahat tiba, Aku dan Jarimin keluar ke halaman sekolah. Kami duduk di bawah pohon mangga yang rindang, tempat favorit kami. Di sana, kami bisa berbicara dengan tenang tanpa khawatir terdengar oleh orang dewasa.

"Jarimin, kau takut?" tanyaku pelan.

Jarimin mengangguk. "Tentu saja. Siapa yang tidak takut? Tapi, kita harus berani, kan? Kita harus kuat."

Aku tersenyum pahit. "Iya, kita harus kuat."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline