Menurut Ramlan Surbakti, "Partai politik adalah kumpulan dari anggota yang terorganisir dengan rapi dan stabil yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilu guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang disusun," Partai politik pada hakikatnya dibentuk berdasarkan adanya kesamaan tujuan dan ideologi, ideologi ini yang kemudian berperan menjadi pedoman nilai dan pegangan setiap pengurus partai politik dalam menjalankan program dan aktivitas politiknya, ideologi ini juga menjadi pijakan partai politik dalam menempatkan partainya di tengah-tengah masyarakat saat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Jika ditilik ke belakang, partai politik memegang peran yang strategis dalam mempertahankan sistem demokrasi yang dijalankan oleh Indonesia sekarang. Didukung dengan fungsi-fungsi partai politik yang dapat menjamin adanya pelaksanaan demokrasi yang efektif dengan catatan, jika fungsi-fungsi tersebut dijalankan dengan sebenar-benarnya dan semestinya. Partai politik menjadi salah satu unsur demokrasi yang memiliki andil untuk menjadi perantara antara penyelenggara pemerintahan dengan warga negara. Partai politik memiliki beberapa fungsi sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Almond dan Powell, yaitu partai politik memiliki fungsi rekrutmen politik, sosialisasi politik, dan artikulasi serta agregasi kepentingan. Diatur juga pada Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik bahwa partai politik memiliki fungsi dan peran sebagai berikut a) sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga Negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (b) sebagai sarana penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; sebagai sarana penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan Negara; (c) sebagai sarana partisipasi politik warga Negara Indonesia; dan (d) sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
Sebagaimana telah disebutkan tadi, partai politik memiliki peran strategis dalam menjadi penghubung atau perantara bagi penyelenggara pemerintahan dan rakyat, dengan ini fungsi rekrutmen politik dalam salah satu fungsi partai politik menjadi sangat penting. Fungsi ini memungkinkan bagi setiap orang dari seluruh lapisan masyarakat yang memenuhi syarat dan kualifikasi untuk berpartisipasi dan memberikan andil dalam pelaksanaan politik perwakilan melalui mekanisme demokratis tetapi selektif yang kemudian dapat menciptakan kader partai yang tidak hanya berkualitas tetapi juga berintegritas. Dilihat dari sistem multipartai yang diterapkan di Indonesia saat ini, wilayah Indonesia yang beragam didukung dengan kemajemukan setiap masyarakat di dalamnya menciptakan jumlah pemilih yang besar yang semestinya juga diimbangi dengan tingkat kompetisi yang tinggi. Dengan kondisi tersebut, fenomena calon tunggal di Indonesia menjadi sebuah hal yang tidak lazim, mengingat jumlah pemilih yang cukup besar. Menjadi penting bagi partai politik untuk mengembangkan sistem rekrutmen dan kaderisasi politik yang kemudian menjadi langkah awal untuk mendapatkan sumber daya manusia yang memiliki kualitas untuk mengambil jabatan politik dan posisi elit politik. Berdasarkan pemikiran Lester Seligman mengenai pola rekrutmen politik, ada dua pola rekrutmen yang ideal yaitu antara lain: rekrutmen anggota baru partai dan rekrutmen anggota partai yang memenuhi syarat melalui proses seleksi untuk menduduki posisi penting baik di internal organisasi partai politik ataupun jabatan-jabatan politik yang diperebutkan melalui kontestasi pemilu. Pada pelaksanaannya, dengan sistem multipartai tidak ada partai yang dapat menang secara mutlak, dengan itu dibutuhkannya koalisi untuk memperkuat pemerintahan, koalisi yang tidak menentu ini pun dapat mengakibatkan hubungan yang rentan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang kemudian berimbas pada pemerintahan yang menjadi tidak stabil sebagaimana sistem kepartaian memiliki peran signifikan dalam menjaga kestabilan pemerintahan suatu negara. Secara tersirat dalam Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, menyebutkan bahwa, "Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik." Ada frasa yang perlu digarisbawahi, "gabungan partai politik" berarti seolah-seolah paling tidak ada dua partai atau lebih yang bergabung untuk membawa satu calon pasangan Presiden dan Wakil Presiden untuk bersaing dengan calon lain yang diusung oleh partai lainnya. Hal ini yang menandakan bahwa sistem kepartaian di Indonesia wajib diikuti oleh minimal tiga partai politik atau lebih.
Untuk menjaga hubungan dan mengurangi kemungkinan adanya gesekan antara lembaga eksekutif dan legislatif, idealnya dibutuhkan sistem pemilihan umum yang melibatkan sedikit partai. Hal tersebut sulit mengingat karakteristik Indonesia dengan keragaman dan kemajemukan budaya, agama, suku, dan etnis yang tidak mudah untuk disatukan dalam suatu pandangan dan ideologi dan untuk dikategorikan hanya dengan dua partai besar. Dengan adanya multipartai, peroleh suara mayoritas pada pemilu dapat memberikan pengaruh terhadap efektivitas sistem pemerintahan itu sendiri, munculnya multipartai yang ekstrim menjadi penyebab adanya kemungkinan polarisasi dan fragmentasi kepentingan yang bermacam-macam. Akan adanya gesekan hubungan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, contohnya seperti adanya kesulitan dalam hubungan Presiden dan DPT untuk berkoordinasi dan bekerjasama dalam Menyusun kebijakan dan program kerja. Dari hal-hal tersebut, dibutuhkannya kontrol terhadap pertumbuhan partai politik di Indonesia yang menganut sistem multipartai ini. Sebagai solusi untuk mengatasi tingginya pertumbuhan partai politik di Indonesia yang menjadi ekstrim ini, kemudian dikenalkan penetapan ambang batas atau threshold pertama kali pada pemilihan umum tahun 1999. Secara teori, ada dua tujuan utama dalam penerapan ambang batas, yaitu untuk mengurangi jumlah dari partai politik yang masuk ke parlemen dan menyaring dan memilih partai politik peserta politik nantinya. Dalam kenyataannya, beberapa berpendapat bahwa dengan adanya parliamentary threshold berarti mencederai demokrasi di Indonesia, karena dengan diberlakukannya ambang batas ini seolah-olah mengambil hak rakyat untuk secara bebas memilih wakilnya di parlemen. Ambang batas ini dinilai tidak mengembankan kedaulatan yang berada di tangan rakyat, mengingat Indonesia sebagai negara demokrasi dengan sistem perwakilan dan sangat menjunjung kedaulatan rakyat, maka dari itu sudah seharusnya masyarakat dengan berbagai latar belakang budaya yang berbeda bisa untuk memiliki hak yang sama untuk mengajukan dan mencalonkan diri sebagai anggota parlemen melalui partai politik. Parliamentary threshold diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, pasca disahkannya Undang-undang tersebut rakyat mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi terkait mengajukan gugatan untuk salah satu pasal yang dinilai kontroversial yang menjadi isu hangat yang didebatkan selama periode pemilu berlangsung yaitu pasal mengenai ambang batas parlemen pada pemilu serentak tahun 2019.
Namun, jika ditelaah lebih dalam lagi, dengan adanya ambang batas parlemen ini sebenarnya tidak menghambat pembentukan partai politik karena sah adanya jika suatu partai politik dibentuk selama memenuhi persyaratan yang telah diatur dalam Undang-undang tentang partai politik. Tujuan dari parliamentary threshold adalah sebenarnya dengan membatasi jumlah partai politik yang akan masuk ke dalam parlemen berarti mendorong partai-partai kecil yang tidak terlalu mendapatkan rekognisi untuk menggabungkan dir atau berkoalisi yang harapannya dapat menambah efektivitas dalam merepresentasikan suara rakyat dalam parlemen dan meningkatkan kinerja dari partai politik yang digabungkan. Didukung lagi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor 3/PUU VII//2009, menegaskan bahwa, "Ketentuan mengenai parliamentary threshold yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tidak melanggar konstitusi karena ketentuan Undang-Undang tersebut telah memberikan peluang bagi setiap warga negara untuk membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional melalui ketentuan parliamentary threshold untuk dapat memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat." Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum menetapkan bahwa ambang batas parlemen adalah sebesar 2,5% (dua koma lima persen) untuk penentuan perolehan kursi DPR pada pemilihan umum tahun 2009. Di tahun 2009 ini juga terdapat 44 partai (terdiri dari 38 partai politik dan 6 partai lokal Aceh) yang ikut dalam pemilu legislatif, namun dengan menerapkan ambang batas parlemen tersebut hanya ada 9 partai yang lolos ke parlemen. Lalu pada tahun 2014, terdapat perubahan pada Undang-undang Pemilu yang berganti menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 yang menaikkan kembali ambang batas parlemen menjadi 3,5% (tiga koma lima persen), pada pemilihan di tahun itu diikuti oleh 15 partai (terdiri dari 12 partai politik nasional dan 3 partai lokal Aceh) yang mengikuti pemilihan umum tetapi hanya ada 10 partai yang lolos angka ambang batas parlemen. Kemudian di pemilihan umum tahun 2019, ambang batas parlemen dinaikkan kembali menjadi 4% (empat persen) yang diatur pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017, pada pemilu di tahun ini terdapat 20 partai politik (terdiri dari 16 partai nasional dan 4 partai lokal).
Dilihat dari sejarahnya, parliamentary threshold berjalan sebagaimana mestinya dan dapat untuk mencapai tujuannya yaitu untuk menyederhanakan sistem kepartaian. Namun tidak sepenuhnya berjalan dengan efektif karena dilihat dari pelaksanaannya karena belum berhasil untuk mengurangi jumlah partai politik yang ada di DPR, contohnya pada pemilu tahun 2009 ketika sebelumnya ambang batas parlemennya sebesar 2,5% (dua koma lima persen) menjadi 3,5% (tiga koma lima persen), kenaikan tersebut tidak mengurangi jumlah partai di DPR yang pada tahun 2009 terdapat 9 partai yang lolos ambang batas, tetapi kemudian pada pemilu 2014 malah bertambah menjadi 10 partai politik yang lolos ambang batas parlemen. Hal tersebut membawa kita kembali kepada pembahasan mengenai angka batas parliamentary threshold yang selalu didebatkan dalam proses pemilu. Adanya keberatan dari partai-partai kecil mengenai dinaikkan secara berkala angka ambang batas parlemen, hal tersebut muncul dari kekhawatiran bahwa partainya tidak dapat lagi untuk mencapai angka batas tersebut jika secara terus menerus dinaikkan secara berkala yang kemudian mengakibatkan mereka tidak lagi memiliki kursi di DPR. Berimbang terbaik, partai-partai besar justru bersikeras untuk menaikkan angka besaran dari ambang batas karena mereka yakin bahwa suara yang mereka peroleh dapat terus mencukupi besaran angkat ambang batas, semakin tinggi ambang batasnya maka partai-partai besar tersebut dapat menyingkirkan partai-partai kecil lalu mereka dapat mengambil kursi-kursi dari partai-partai tersebut. Adapun contoh nyatanya adalah Partai Buruh yang menyatakan untuk menolak ambang batas parlemen 4% (empat persen) Mereka menilai dengan adanya ambang batas parlemen sebesar 4% ini akan menghidupkan kembali demokrasi terpimpin dan memperkuat oligarki partai politik. Tidak dipungkiri bahwa memang pada kenyataannya, mekanisme pengisian jabatan-jabatan penting masih sangat kenal akan praktik oligarkis yang transaksional dan tidak transparan. Ambang batas parlemen ini menjadi penting untuk Partai Buruh yang akan debut pada pemilu Pemilu 2024 nanti. Mereka menuntut agar adanya revisi terhadap Undang-undang Pemilu agar parliamentary threshold yang sebesar 4% dicabut atau diganti dan dimaknai 4% dari jumlah kursi yang ada di DPR RI, karena jika diibaratkan, bila partai politik pada pemilu 2024 nanti mendapatkan 30-40 kursi di DPR RI maka tetap ada kemungkinan untuk tidak lolos parliamentary threshold atau mendapatkan suara sah nasional di bawah 4%. Tuntutan ini disampaikan melalui aksi unjuk rasa yang melibatkan ratusan buruh pada bulan Maret 2023 kemarin di depan Gedung DPR/MPR RI bersamaan dengan unjuk rasa penolakan terhadap UU Cipta Kerja. Bisa disimpulkan bahwa, penerapan parliamentary threshold pada saat ini belum bisa dikatakan sepenuhnya efektif, perlu adanya pengkajian ulang khususnya mengenai penetapan besaran angka ambang batas parlemen. Mengingat partai politik memegang peran yang signifikan dalam pelaksanaan pemerintahan yang demokratis, parliamentary threshold menjadi salah satu fungsi rekrutmen politik dari partai politik menjadikan hal ini penting untuk diterapkan secara optimal dan efektif.
REFERENSI
Firdaus, S. U. (2011). Relevansi parliamentary threshold TERHADAP Pelaksanaan Pemilu Yang Demokratis. Jurnal Konstitusi, 8(2), 91--112. https://doi.org/10.31078/jk825
Iswandari, B. A., & Isharyanto. (2019). PENERAPAN PARLIAMENTARY THRESHOLD DALAM PEMBENTUKAN PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL YANG STABIL MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. Res Publica , 3(1), 14--26. https://doi.org/file:///Users/avrilazalzabila/Downloads/45579-117029-1-SM.pdf
Kurniawan, F., & Handayani, R. S. (2022). Pelaksanaan fungsi Partai Politik Dan Dampaknya Pada Konsolidasi Demokrasi. Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi, 21(2), 65--76. https://doi.org/10.21009/jimd.v21i2.26013
Nae, S. S., Sumakul, T. F., & Sompotan, H. B. (2021). ANALISIS YURIDIS TENTANG AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD) DALAM PEMILIHAN UMUM DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PASCA KELUARNNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM. Lex Administratum, 9(7), 180--188. https://doi.org/https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/administratum/article/view/35240/32969
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H