Lihat ke Halaman Asli

Dunia Tiga yang Terlupa

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Suatu malam ketika, pukul tiga, ada seorang pemuda. Dia datang tiba2. Duduk di sampingku, di beranda kamarku. Entah siapa dia, aku tak mengenalnya. Namun sosoknya seperti yang pernah ku duga. Yang ku suka.

Kami seperti menyatu, kemudian bercerita haru sampai yang lucu. Lalu, aku bertanya, “Darimana asalmu?”. Jawabnya, “Aku tinggal di tempat entah apa namanya. Angkasa terbuka pada gumpalan mega di sana. Aku sudah bahagia. Namun, manusia hanya aku satu-satunya”.

Pemuda itu lalu bangkit dan berpamit. Berjalan melayang dan terbang, kemudian hilang. Aku, dilanda sedikit duka dan tanya. Diakah pemuda dari dunia yang terlupa?

Ah yang benar saja, aku salah entah yang keberapa. Memaafkan memang lebih mudah ketimbang melupakan. Dan perkataan seperti pisau yang tajam daripada perbuatan. "Sudah ditikamkan bukan?"

Ya, seperti ada ratusan di badan. Ulu hati yang diserang.

Kembali, tetapi, tak ada namamu di sana.

Lantas aku berlalu. Aku berbincang dengan waktu, malam itu. "Dengar, ini bukan hal baru yang terjadi di hidupku.", kataku. "Ya aku tau, berkali kau berucap nama itu padaku. Kau bilang merindu. Kau bilang ingin bertemu. Berbincang tentang masing - masing kalian tentang hal yang berkesan. Berkali kau berucap masa itu padaku. Tetapi aku tak mengenal masa lalumu. Kenangan kalian akan terus berjalan, tetapi masa lalumu tak akan pernah bisa hidup berdampingan denganku. Aku bukan Tuhanmu.", sabda sang waktu. "Aku begitu rindu masa itu, dikala kata satu selalu berderu. Aku begitu merindu mereka yang ku sebut dinding utamaku. Andai bisa ku mengulang waktu yang hilang dan terbuang. Andai bisa perbaiki segala yang terjadi."

"Tapi aku tak berhenti, detik pun enggan kembali.", kemudian ia bangkit dan berpamit. Aku menyapa waktu lainnya. "Kaukah yang disebut orang sesuatu yang belum tentu?", tanyaku. "Selalu, masa berikutmu tak pernah ada yang tau. Kini akulah hari ini-mu, kau harus menyibukkanku.", katanya. Namun, di hari dan pagi berbeda, ceritaku masih sama. Aku merindu, masa itu. Masa dimana mata kita selalu bertemu dan bibir kita berbicara apa saja. Masa dimana banyak tempat agar kita semakin dekat. Aku merindu, teruntuk mereka yang ku sebut dinding besarku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline