Lihat ke Halaman Asli

Cynthia Dewi Oka; Tentang Feminisme, Kemanusiaan dan Cinta Tanah Air di Valentine’s Day

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apa yang identik dengan Februari? Ya, Valentine’s Day. Orang-orang di sejumlah negara di berbagai belahan dunia merayakannya bersama pasangan, teman terdekat, atau mungkin keluarga mereka.

Seikat bunga mawar atau beberapa batang coklat yang mendominasi di bulan ini, menggambarkan betapa Valentine’s Day sudah mendarah daging dalam setiap aspek budaya suatu bangsa.

Namun apakah Valentine harus melulu soal kekasih? Tentu saja tidak. Kasih sayang dapat kita curahkan kapan saja dan kepada siapa saja tanpa harus menanti tanggal 14 Februari tiba.

Cynthia Dewi Oka, seorang wanita berkewarganegaraan Amerika, menggaris bawahi apa itu hari kasih sayang menurut sudut pandangnya yang idealis dan berani.

Cynthia adalah seorang penyair dan penulis antologi puisi “Nomad of Salt and Hard Water” (Dinah Press, 2012). Lahir dan dibesarkan di Bali, Indonesia, Cynthia bermigrasi ke Kanada ketika ia berusia 10 tahun. Awalnya, ia adalah seorang pelukis dan pianis. Kemudian ia beralih menjadi penulis untuk menggali dan mengkomunikasikan pengalaman perpindahannya.

“Sebetulnya saya baru menang kontes menulis untuk mewakili provinsi Bali di Jakarta. Saat itu tahun 1995. Tapi saya dan keluarga sudah pindah ke Kanada sebelum ronde nasional.”, papar Cynthia melalui surat elektronik.

Cynthia adalah seorang kutu buku sejak kecil. Dia mulai belajar menulis secara otodidak karena dia harus beradaptasi dengan lingkungan baru di tempat tinggalnya waktu itu, Vancouver, Kanada.

Lantaran tidak ada satupun orang Indonesia di sekolahnya, ia mengakali dengan membaca dan menulis cerita-cerita pendek untuk mengajari dirinya sendiri berbahasa Inggris agar bisa menjelaskan kepada orang tuanya, khususnya ketika mereka pergi bekerja.

Pada usia 18 tahun, Cynthia melahirkan anaknya dan kemudian ia melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi sebagaisingle-parent. Cynthia mendapatkan gelar B.A. with Highest Honors in Political Science dari Simon Fraser University di British Columbia.

“Saya mulai menulis puisi dengan serius sesudah Ayah saya meninggal, anak saya lahir dan suami saya (yang dulu) kabur. Itu adalah waktu kelam, waktu saya hampir hilang pengharapan. Untuk menyekolahkan diri dan mengurus anak, saya harus kerja keras sekali. Dan waktu itu saya baru berumur 18 tahun.”, tutur Cynthia menjelaskan tentang apa yang paling menginspirasi tulisan-tulisannya.

Cynthia yang merupakan alumnus dariVoices of Our Nations(VONA)Writing Workshop, merupakan penerima penghargaan seniman 2014 dari Vermont Studio Center. Ia juga menjabat sebagai Poetry Editor of Generations Literary Journal.

Cynthia pernah tampil pada The New School, Bluestockings, Boys Bus and Poets, La Mama Eksperimental Theatre, The Free Library of Philadelphia, Asosiasi Association of Writers and Writing Programs (AWP) Conference, dan Split This Rock Poetry Festival.

Dengan latar belakang dalam pengorganisasian masyarakat seputar masalah keadilan migran, kedaulatan adat, kekerasan terhadap perempuan, dan gentrifikasi, ia berkemauan keras dalam menulis puisi. Khususnya, sudut pandang pribadinya terhadap kaum margin.

Hingga kini, sudah banyak essai, puisi, dan buku karangan Cynthia yang diterbitkan. Kebanyakan dari mereka bertema tentang kemanusiaan dan feminisme yang berasal dari tragisnya kehidupan riil.

Salah satu contohnya “How to Watch The Act of Killing” yang baru-baru ini dinominasikan olehFifth Wednesday Journal, dimana untuk kali pertamanya diterbitkan dalamPushcart Prize 2015. Awal tahun ini, penyair Rachel Jamison Webster telah memilih puisi ini untukFifth Wednesday’s Editor’s Prize in Poetry.

Ketika ia menulis puisi tersebut, di Indonesia sedang gencar-gencarnya pemblokiran pemutaran film The Act of Killing karena dianggap menentang pemerintah dan membuka aib masa lalu tanah air. Sehingga pemutaran film yang dilakukan serentak di Indonesia, menuai banyak kontrofersi dari berbagai pihak dan ormas.

“Saya baca tentang reaksi pemblokiran The Act of Killing. Saya sungguh berharap, pemerintah Indonesia akan berlaku lebih baik dari negara-negara seperti Kanada dan US. Saya lihat trauma dari tahun-tahun itu karena tidak ada diskusi, peringatan, dan akhirnya menurun ke generasi sekarang.”, jelas Cynthia menanggapi kasus di atas.

Puisi berjudul “How to Watch The Act of Killing” merupakan respon Cynthia terhadap peristiwa yang terjadi di Indonesia, menjelang pemutaran film The Act of Killing. Berkaca dari pengalaman masa lalunya yang pahit, traumatik, dan kecintaannya akan Indonesia, Cynthia mencurahkan perasaannya terhadap apa yang terjadi kala itu.

Dalam akun twitternya @freedewi, ia menulis “How to Watch @TheActofKilling http://wp.me/p2ULgw-6J @JoshuaOppenheim with all my love to the Indonesian team.” terlihat jelas ia peduli akan tanah kelahirannya, Indonesia.

Tweet tersebut ia tujukan langsung untuk masyarakat Indonesia dan sang sutradara, Joshua Oppenheimer yang saat itu (9/12/2014) memang sedang berada di Indonesia untuk menghadiri ‘nobar’ di beberapa titik lokasi pemutaran film.

So the acknowledgment for this poem is not for me alone; it is for all of the Indonesian artists, writers, thinkers, organizers, survivors who have or must remain Anonymous. I share this poem with my deepest love and respect, my pain and wildest hope, for them.”, Cynthia menjelaskan dalam situs blognya.

Sontak publik dibuat terharu dan kagum dengan keberanian yang ia tulis. Termasuk Joshua Openheimmer yang spontan menanggapi puisinya dengan rasa hormat dan ‘mengkicaukan’ ulang apa yang ia baca.

“Saya harap, pembaca bisa melihat refleksi diri mereka di dalam puisi saya dan bisa merasakan kasih sayang di belakang kata-kata saya. Saya cinta sekali dengan tanah air Indonesia dan harapan saya adalah tetap bisa memberikan kontribusi melalui tulisan-tulisan saya.”, tambah Cynthia dengan ramah.

Sekarang ini, ia sudah menetap di New Jersey, US dan sedang mengerjakan dua proyek bukunya. Yang satu koleksi puisi baru, satu lagi adalah revisi buku pertamanya untuk edisi spesial.

Habis Gelap, Terbitlah Terang

Mungkin itulah yang mampu digambarkan dari sosok Cynthia Dewi Oka. Masa lalu memberikan kesempatan untuk membentuknya menjadi wanita tangguh dan kuat.

Ditengah kemiskinan dan kesusahan, puisi menjadi senjata Cynthia untuk menentang keputusasaan, meninggikan apa yang telah dicampakkan dan diasingkan di tengah masyarakat.

Sebagai keturunan etnis Cina dan seorangsingle-parent, Cynthia mengalami banyak diskriminasi dan kekerasan di tempat tinggalnya dulu. Banyaknya kesulitan yang dialaimi komunitas imigran akibat hukum bukanlah sesuatu yang bisa dirubah dengan gampang.

Beberapa contoh, ayah Cynthia sangat kesulitan mencari pekerjaan sesudah mereka pindah ke Kanada. Dulu, dia dokter gigi di Bali. Tapi degree beliau tidak dianggap di Kanada. Situasi ini dihadapi oleh banyak imigran - dokter, pengacara, PhD - yang terpaksa bekerja digas stationatau jadi supir taksi untuk bertahan hidup.

Ibunya, dulu adalah perawat yang sudah menahun banting tulang di pabrik dengan bayaran sangat pas-pasan. Ada persepsi bahwa wanita Asia itu tidak suka berontak dan juga tidak bisa membela hak karena kurang mampu berbicara bahasa Inggris. Orang Asia dibawa ke Kanada dan US sebagai "cheap labor" dan hal ini tetap berlanjut dengan wanita-wanita Asia pendatang baru.

Wanita Asia sering diperlakukan sebagai “sexual object” yang ideal di masyarakat barat. Sesuatu yang bisa dikontrol karena persepsi bahwa wanita Asia itu nurut dan tunduk. Ini salah satu akibat perang di antara negara-negara barat dengan negara-negara Asia Timur (Cina, Jepang, Filipina, Korea, Vietnam) yang berakhir dengan US Military Bases Asia Timur, dan wanita-wanita Asia dipakai sebagai “hiburan” oleh prajurit-prajurit US.

Sebagai ibu muda, diskriminasi yang dialami Cynthia di Canada atau US tidak jauh berbeda dari apa yang dialami wanita-wanita seperti dirinya di Indonesia. Di tempat tinggalnya, kebanyakansingle-parentsadalahsingle-moms dan mayoritas (di atas 90%) hidup dalam kemiskinan karena tidak mendapat oportunitas.

“Setelah saya menikah lagi, saya benar-benar melihat perbedaanrespectdari masyarakat hanya karena surat perkawinan. Ini tidak adil sama sekali, karena semuasingle mothersyang saya tahu berusaha dengan seluruh tenaga untuk memberi anak-anak mereka hidup layak.”, ujar wanita 29 tahun ini.

Feminisme, Humanity, Dan Cinta Tanah Air Di Hari Kasih Sayang

Di hari kasih sayang sejuta umat, Cynthia membagi inspirasi dan deskripsi bagaimana seharusnya orang-orang menjadikan Valentine’s Day tidak terlalu konsumeris.

“Bagi saya, Valentine adalah kesempatan mengingat dan memperjuangkan hak orang-orang atau populasi yang kurang diperhatikan. Seolah-olah, Valentine itu tentang coklat atau bunga. Valentine merupakan momen untuk mendukung keadilan dan kebaikan bagi semua orang, bukan cuma mencari kesenangan diri sendiri.”, tandasnya.

Tahun-tahun sebelumnya, Cynthia berpartisipasi dalamFebruary 14th Memorial Marchdi Vancouver, Kanada. Event ini adalah suatu rally dari beribu-ribu orang untuk memperingati wanita-wanita yang hilang dan dibunuh, yang tidak ditindak lanjuti oleh aparat setempat karena mereka dianggap murahan, miskin, danhomeless.

Ia mengatakan kalau di Kanada, Amerika, dan Indonesia, masih banyak wanita yang didoktrin bahwa mereka harus tunduk pada laki-laki. Dan apabila mereka mengalami kekerasan dari kekasih, suami atau petinggi di tempat mereka bekerja, hal itu dianggap salah mereka sendiri.Rape, assault, domestic violence, ini semua bukan hal yang memalukan bagi wanita, tetapi bagi lelaki dan pemerintah.

Di Indonesia, ia menaruh perhatian pada isu para wanita yang bekerja sebagaicheap labordi pabrik-pabrik multinasional dan pembantu-pembantu yang bekerja di dalam maupun luar negeri.

Apakah mereka aman? Apakah mereka bisa mengekspresikan kasih sayang satu dengan lain di publik? Bagaimana akses mereka ke pekerjaan, sekolah, kesehatan, perlindungan hukum? Dan bagaimana impian mereka? Ketakutan mereka? Kesempatan apa yang ada untuk mereka dalam menuntut ilmu dan meraih cita-cita?

Ia berharap bahwa isu-isu tersebut menjadi fokus di hari Valentine. Bagaimana hidup, keputusan, dan pekerjaan kaum hawa masih kurang dihargai dalam dunia luas.

Saat ini, Cynthia bekerja di Drexel University di Philadelphia, PA. dimana ia membantu siswa-siswa dalam menguatkan essai mereka, mengaplikasi program studi dan beasiswa bergengsi seperti Fulbright, Boren, Gates Cambridge, dan lain-lain.

“Dalam tahun-tahun mendatang, saya harap bisa pulang untukresearchdan menuliscontemporary strugglesdi Indonesia.”, ujar perempuan yang gemar membaca ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline