Lihat ke Halaman Asli

Aviza Maharani

Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Jember, 2021

Perang Dagang Amerika Serikat-Cina: Kenaikan Tarif Impor Dorong Puluhan MNC Migrasi dari Cina

Diperbarui: 29 Maret 2023   14:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Ilustrasi: Istockphoto/ cybrain

Eksistensi perusahaan multinasional muncul sebagai salah satu dampak dari meningkatnya persaingan global. Dalam konteks global ekonomi dan politik menjadi unsur yang saling berhubungan.  Keduanya memiliki peran dalam mempengaruhi satu sama lain. Aktor-aktor internasional, seperti negara, organisasi, dan perusahaan multinasional memiliki daya untuk mempengaruhi rezim Internasional menggunakan kekuatan mereka. Dalam ekonomi politik internasional, negara tidak hanya memperhatikan keuntungannya sendiri, melainkan juga mempertimbangkan kolaborasi dan hubungan bersama negara lain (Vina Benita L., 2019). Dinamika pasar akan selalu memposisikan diri mereka pada tempat yang menguntungkan dan lebih efisien. Dimana negara akan selalu mengawasi proses perkembangan ekonominya dan negara lain.

Adanya hubungan ekonomi antar negara-negara di dunia mendorong sikap negara dalam memposisikan dan menetapkan kebijakannya, yang nantinya akan mempengaruhi negara lain. Salah satu fenomena yang ramai diperbincangkan pada awal mula terjadinya adalah "Perang Dagang Antara Amerika Serikat dan Cina." Indikasi utama dari perang dagang tersebut adalah pemberlakuan tarif/ kuota impor yang dilakukan antar kedua negara tersebut.

Aktifitas perdagangan antar Amerika dan Cina sempat berkurang akibat terjadinya sengketa di atas. Tidak hanya berdampak terhadap perekonomian kedua negara, tetapi juga berimplikasi pada situasi perekonomian global. Dimana Amerika dan Cina menjadi dua kekuatan ekonomi terbesar dunia.

Berawal sejak 2018, neraca perdagangan Amerika Serikat selalu mengalami defisit dari Cina. Sebagai presiden Amerika Serikat kala itu, Donald Trump mengambil langkah proteksionisme dengan menaikkan tarif impor, dimulai dari mesin cuci 20% dan panel surya 30%. Kemudian berlanjut pada kenaikan bea masuk aluminium 10% dan baja 25%. Dari sinilah perang dagang pun dimulai. Tak tinggal diam, Cina pun menaikkan bea masuk baja 25%, serta 15% bagi 120 komoditas Amerika Serikat.

Tak sampai di situ, United States Department of Commerce kemudian merilis kebijakan prohibisi terhadap perusahaan telekomunikasi Cina untuk membeli suku cadang dari Amerika Serikat selama 7 tahun.

Dengan intrik yang terjadi AS dan Cina memutuskan untuk menyelenggarakan pertemuan dengan agenda diskusi terkait perang dagang yang terjadi, yang dilaksanakan pada tahun 2018 di Beijing.

Pertemuan tersebut menghasilkan resolusi dimana Cina memberi penawaran akan memperbaiki defisit perdagangan Amerika Serikat. Kedua pihak kemudian menyetujui kebijakan untuk menaikkan ekspor energi dan pertanian dari negeri Paman Sam tersebut.

Adanya pertemuan tersebut, ternyata tidak lebih dari sekedar pembahasan umum mengenai defisit neraca AS dari Cina. Perjanjian yang disetujui dari pertemuan tersebut, juga tidak membuahkan hasil yang signifikan.

Kementrian perdagangan Cina menegaskan bahwa pihak Amerika Serikatlah yang memulai sengketa dagang lebih dulu. Dengan kebijakan 545 produk AS yang bernilai US$34 miliar akan dikenakan tarif 25%.

Donald Trump kemudian menyatakan bahwa eksistensi dari perang dagang akan memaksa perusahaan-perusahaan AS memindahkan lokasi produksinya dari Cina ke Amerika. Dikutip dari The Washington Post, Minggu (21/7/2019), sejak itu lebih dari 50 MNC telah menyatakan rencana dan pertimbangan migrasi manufaktur dari Cina.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline